Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

World Hearing Day 2019, Cek Pendengaran Anak Sejak Bayi

Kompas.com - 03/03/2019, 18:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – World Hearing Day atau Hari Pendengaran Dunia jatuh pada Minggu ini (03/03/2019). Untuk tahun ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema Cek Pendengaran Anda untuk merayakannya.

Namun, tidak hanya orang dewasa saja yang perlu mengecek pendengarannya. Anak-anak pun harus diperiksa pendengarannya sedini mungkin. Pasalnya, hampir tujuh persen atau sekitar 34 juta orang yang terganggu pendengarannya adalah anak-anak.

Dipaparkan oleh dr Hably Warganegara, Sp.THT-KL, Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari RS Pondok Indah – Bintaro Jaya,  pada Rabu (27/2/2019); ada empat jenis gangguan pendengaran pada anak. Namun, yang paling berbahaya bila tidak ditolong adalah tuli kongenital.

Tuli kongenital merupakan tuli berat atau sangat berat yang terjadi sejak lahir. Jika tidak segera ditolong, tuli kongenital bisa menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, psikologi dan sosial. Sebab, penyakit ini bisa menganggu proses bicara anak, perkembangan kemampuan berbahasa, komunikasi dan proses belajar, serta perkembangan kepandaiannya.

Baca juga: Misteri Tubuh Manusia, Kenapa Kotoran Telinga Bentuknya Berbeda-beda?

Kondisi ini bisa terjadi karena memang bawaan atau didapat melalui infeksi. Menurut Hably, seperempat dari kasus kongenital disebabkan oleh gangguan THT, walaupun ada juga yang disebabkan oleh gangguan psikologi atau gangguan sentral.

Gejala yang paling kelihatan adalah anak belum dapat bicara sesuai usianya saat berusia satu tahun (delayed speech).

Akan tetapi, Hably juga berkata bahwa jika kondisi ini baru ditangkap saat usia anak sudah satu tahun, maka itu sudah tergolong terlambat. Pasaknya, anak seharusnya sudah harus memakai alat bantu dengar pada usia enam bulan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan sedini mungkin.

Mengingat 5.000 bayi di Indonesia terlahir berisiko tuli dan bisu setiap tahunnya, cara yang paling efektif untuk memeriksa kesehatan pendengaran mereka adalah dengan melakukan skrining bayi baru lahir menggunakan otoacoustic emission testing (OAE).

OAE menilai sela rambut yang terdapat di rumah siput (koklea) dan mengukur getaran suara dalam liang telinga. Bila lulus, maka pendengaran anak baik-baik saja. Namun, bila tidak lulus, tes ini perlu diulang saat anak beruisa tiga bulan.

“(OAE) ini seharusnya dikerjakan di semua bayi baru lahir. Tapi, di Indonesia belum semuanya,” ujar Hably.

Baca juga: Bolehkah Membersihkan Telinga dengan Korek Kuping? Ini Kata Ahli

Oleh sebab itu, dia pun memberikan cara lain yang lebih sederhana untuk mendeteksi kemungkinan tuli kongenital.

Disebut observasi respons bayi terhadap suara, cara ini dapat dilakukan oleh orang tua saat bayi berusia 0-1 bulan. Selama periode tersebut, orangtua diwajibkan untuk menangkap reaksi bayi ketika ada suara.

Reaksi ini bisa berupa refleks moro di mana bayi tampak kaget , auropalpebra (mengejapkan mata), grimacing (mengerutkan wajah), berhenti menyusu atau malah mengisap lebih cepat, bernapas lebih cepat dan ritme jantung bertambah cepat.

Sementara itu, anak yang lebih besar diharapkan dapat menoleh untuk mencari sumber bunyi.

Bila anak diduga mengalami tuli kongenital, maka diperlukan pemeriksaan oleh ahli untuk memastikan diagnosis. Tesnya bermacam-macam, mulai dari OAE, timpanometri , Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) dan Auditory Steady State Response (ASSR).

Semakin cepat kondisi ini ditangkap, semakin cepat juga anak bisa diberikan penanganan, seperti pemasangan alat bantu dengar, implan koklea melalui operasi, terapi wicara dan sekolah khusus (PAUD).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com