Belum ada penelitian cohort di Indonesia untuk mengetahui probabilitas penderita sindrom metabolik menjadi penderita penyakit kardiovaskuler pada kurun waktu tertentu.
Bila kita melihat hasil-hasil penelitian di Inggris, makin banyak komponen sindrom metabolik yang dimiliki seorang indidvidu maka makin besar kemungkinannya untuk menjadi penderita penyakit kardiovaskuler.
Seorang individu yang memiliki 3 sampai 4 komponen sindrom metabolik, pada kurun waktu 5 sampai 30 tahun kemungkinannya menjadi penderita penyakit kardiovaskuler berkisar antara 5 sampai 30 persen.
Kalau jumlah populasi dewasa dan lansia di Indonesia kurang lebih 190 juta jiwa, 20 persennya adalah 38 juta jiwa, dan seandainya 5 persen saja dari jumlah ini yaitu sekitar 1,8 juta masuk menjadi ’kelompok katastropik’ pada kurun waktu yang dekat, tentu ini akan menjadi ’bencana’ bagi BPJS, daftar tunggu pasien yang memerlukan tindakan segera akan bertambah panjang dan kekhawatiran BPJS akan ’collapse’ bisa saja terjadi.
Bagaimana kita harus menyikapi gambaran ini? BPJS tampaknya masih mempunyai kekurangan di sana-sini, tapi bahwa BPJS sangat penting dan sangat diperlukan oleh masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke bawah kita semua menyepakatinya.
Jadi tentunya harus ada upaya untuk menjaga dan mempertahankannya. Dalam konteks tulisan ini, komunitas sindrom metabolik harus selalu dalam monitor untuk tidak menjadi kelompok katastropik atau paling tidak mengurangi timbulnya hal tersebut.
Baca juga : Mulai 1 Februari, RS Siloam TB Simatupang Tak Layani Pasien BPJS Kesehatan
Pemeriksaan tekanan darah, total kolesterol, dan lingkar pinggang sudah dilakukan di fasilitas kesehatan primer, tetapi itu belum cukup, harus ditambah dengan pemeriksaan kadar HDL kolesterol, kadar trigliserida darah, dan gula darah.
Sehingga, dengan memeriksa 5 komponen sindrom metabolik tersebut, kita dapat memonitor kejadian dan besaran masalah sindrom metabolik dan dapat merencanakan tindak lanjut penanggulangannya dengan lebih baik.
Bila kita menyadari bahwa sindrom metabolik dapat dianggap sebagai satu fase sebelum terjadinya penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner, stroke, dll), prevalensi yang cukup tinggi dari sindrom metabolik ini harus dianggap ancaman atau peringatan yang kuat bahwa penyakit kardiovaskuler di Indonesia menghadapi ancaman peningkatan prevalensi yang serius.
Penanggung jawab masalah kesehatan di Indonesia harus mewaspadai kondisi ini sebelum pengidap sindrom metabolik berubah nanti menjadi pengidap penyakit kardiovaskuler, karena penanganan penyakit kardiovaskular terutama aspek pengobatannya akan membutuhkan dana yang sangat besar
Prevalensi sindrom metabolik yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa tampaknya ada yang kurang tepat, ada yang kurang pas, pada sebagian saudara-saudara kita pada gaya hidup dan pola serta asupan makanannya.
Perhatian dan koreksi terhadap faktor-faktor risiko tadi melalui penyuluhan kesehatan yang terencana, efisien, dan berkesinambungan adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan peningkatan lebih lanjut prevalensi sindrom metabolik.
Sekali lagi, sebelum keadaan menjadi tidak terkendali, kita semua baik penanggung jawab program kesehatan di Indonesia, kalangan akademisi, organisasi profesi kesehatan, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat pada umumnya, harus bekerja sama dan bersatu padu menghadapi tantangan yang berupa sindrom metabolik ini.
Kita mengharapkan BPJS dapat terus bertahan, menjadi makin baik dan solid, karena memang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Semoga!