Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dyna Rochmyaningsih
Jurnalis

Jurnalis dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menaruh minat pada isu kesehatan, kebijakan ilmu pengetahuan, dan kehutanan. SjCOOP Asia Fellow. Tulisannya telah dipublikasikan di sejumlah media internasional seperti Nature, Science, SciDev.Net, dan Science Daily

Ilmuwan Indonesia, Akankah Selamanya Menjadi Ali?

Kompas.com - 27/12/2017, 20:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorYunanto Wiji Utomo


Kendala penulis Indonesia

Berdasarkan wawancara saya dengan Muhammad Danang Birowosuto, seorang fisikawan Indonesia yang saat ini berada di Nanyang Technological University (NTU), kebanyakan ilmuwan Indonesia tidak bisa menjadi penulis utama dalam publikasi ilmiah internasional karena dominasi pendanaan oleh kolega di Barat.

Mereka yang memiliki dana terbesar biasanya mereka yang menyetir penelitian dan akhirnya mendapatkan “nama” di dunia internasional.

Sistem ini adalah sebuah “lingkaran setan”, ilmuwan Barat yang menjadi penulis utama kemudian menambahkan garis pengalaman dalam CV mereka dan kemudian “trust” para penyokong dana terhadap mereka semakin meningkat. Kesempatan mereka untuk mendapatkan hibah penelitian menjadi semakin tinggi.

Ketika mereka melakukan penelitian lagi, mereka merangkul lagi para ilmuwan di negara berkembang yang harus “nerimo” namanya dituliskan di urutan ke sekian atau malah tidak dituliskan sama sekali walaupun mereka sudah melakukan kontribusi besar.

Kejadian publikasi Megalara garuda oleh peneliti Amerika Serikat pada tahun 2012 lalu masih menyisakan rasa kecewa dalam komunitas ilmiah Indonesia, khususnya mereka yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bayang-bayang yang menyelimuti kontribusi ilmuwan Indonesia pun semakin gelap ketika media sains internasional turut serta memiliki “bias” terhadap ilmuwan di negara berkembang.

Saya sungguh prihatin ketika membaca berbagai berita penemuan penting di Indonesia seperti penelitian Homo floresiensis dan spesies baru orang utan. Tak ada satu pun media internasional yang mewawancara peneliti Indonesia yang terlibat dalam penelitian-penelitian bersangkutan.

Para jurnalis dan editor berdalih bahwa perbedaan zona waktu dan bahasa adalah kendala utama mereka. Namun saya kira mereka lupa bahwa negara berkembang juga mempunyai jurnalis yang bisa membantu mereka meliput aspirasi-aspirasi ilmuwan di Selatan bumi.

Biarpun demikian, walaupun dunia Barat begitu kuat mendominasi ilmu pengetahuan, kita masih punya kesempatan untuk memberontak.

Sebuah terobosan dilakukan oleh Dasapta Erwin Pradana, seorang dosen yang berasal Institut Teknologi Bandung.

Melalui dukungan Open Science Forum, Dasapta mengelola situs INA-Rxiv, sebuah situs yang memuat pre-prints, makalah ilmiah mentah yang belum atau sedang menjalani peer-review di jurnal internasional.

INA Rxiv merupakan sebuah terobosan karena selama ini seluruh ilmuwan dunia terpaku pada publikasi ilmiah di jurnal-jurnal bergengsi dunia.

Jurnal-jurnal ini mengharuskan sang ilmuwan membayar sejumlah dollar untuk setiap makalah yang masuk. Tak sedikit juga, makalah ini kemudian hanya bisa dibaca oleh mereka yang mempunyai uang saja.

INA Rxiv memberikan ruang bagi ilmuwan Indonesia untuk berbagi hasil penelitian mereka secara terbuka, baik ditulis dalam Bahasa Inggris ataupun Bahasa Indonesia.

Namun sampai sekarang, belum banyak ilmuwan yang menggunakan fasilitas ini karena mereka mungkin masih menilai publikasi internasional sebagai kulminasi karir ilmiah mereka.

Cara lain untuk memberontak tentu saja dengan pendanaan pemerintah. Pada bulan Juni 2016, saya menulis sebuah kolom di jurnal Nature berjudul “The developing world needs basic research too.”

Dalam kolom ini saya begitu bangga menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki infrastruktur pendanaan riset di Indonesia.

Melalui Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), Kementerian Keuangan berjanji untuk mengalokasikan 3 juta dollar Amerika Serikat untuk mendanai penelitian di bidang kesehatan dan lingkungan.

Sayangnya, berdasarkan wawancara saya dengan beberapa ilmuwan Indonesia, dana yang dijanjikan DIPI belum juga cair. Mereka menduga bahwa pergantian Menteri Keuangan telah menahan dana tersebut. Sampai sekarang mereka belum mendapatkan kabar lebih lanjut dari DIPI.

Dalam pandangan saya, sepertinya ilmuwan Indonesia akan selamanya menjadi Ali.

Mereka memiliki kemampuan yang sama seperti kolega mereka di Barat namun harus tetap berjalan di balik bayang-bayang. Hanya dengan partisipasi mereka di open-science dan juga pendanaan serius dari pemerintah yang bisa menarik mereka keluar bayang-bayang dan bekerja dalam kesetaraan di pentas sains dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com