Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Penolakan Vaksinasi Difteri, Ini Kata Menkes

Kompas.com - 11/12/2017, 19:05 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Kemunculan penyakit difteri telah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa oleh Kementerian Kesehatan. Terhitung hingga November 2017, terdapat 593 kasus dan 32 kematian di 20 provinsi.

Kemenkes pun bergerak cepat dengan melakulan imunisasi ulang atau ORI (Outbreak Response Immunization) sejak hari ini di tiga provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ketiganya dipilih karena tingginya prevalensi dan kepadatan masyarakat.

Meski demikian, ORI tak selalu berjalan mulus. Penolakan pemberian vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) juga terjadi di masyarakat.

"Kami dapat laporan dari Dinkes DKI Jakarta, ada enam sekolah swasta yang menolak diberikan vaksin DPT," kata Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSIP) Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (11/12/2017).

Baca Juga : Kemenkes: Difteri Tahun Ini Luar Biasa

Pada saat menengok kondisi pasien, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek sendiri mendapati 22 anak yang dirawat RSIP Suliati Saroso tidak mendapatkan imunisasi. Akibatnya, daya tahan tubuh menurun dan terjangkit difteri.

"Anaknya diimunisasi tidak bu? Jawabnya tidak. Kenapa? Alasannya dia takut panas," kata Nila.

Dari 593 kasus yang telah dilaporkan, 66 persen pengidap difteri tidak melakukan imunisasi. Sementara itu, 31 persen lainnya melakukan imunisasi tidak sampai final.

Nila mengatakan, masyarakat yang menolak imunisasi harus membuat perhitungan dengan cermat. Selain berpotensi menyerang dirinya, penolak imunisasi juga berpotensi menularkan difteri pada orang lain.

Baca Juga : Ingat, Ada Imunisasi Difteri di 3 Provinsi Ini pada 11 Desember 2017

"Memang vaksinnya gratis, tapi gratis itu pemerintah yang bayar. Tenaga kesehatan yang harus kerja. Orangtua jadi tidak produktif. Coba semua ini diperhitungkan," ujar Nila.

Selain itu, jika vaksin DPT bisa diproduksi oleh PT Bio Farma, anti difteria serum (ADS) yang diberikan bagi orang di sekitar pengidap difteri harus didatangkan dengan impor.

Oleh karena itu, Nila berkata bahwa pengobatan pasien difteri tidak murah. Satu orang bisa menghabiskan dana sekitar Rp 4 juta yang jika ditambah perawatan kelas III rumah sakit, totalnya menjadi Rp 10 juta per orang.

"(Sedangkan) untuk seluruh vaksin Rp 1,6 triliun. Ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya," kata Nila.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau