Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2017, 06:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

JOHN M Siddal (1874-1923) mengatakan, hanya satu hal yang selalu menarik perhatian manusia, yaitu manusia itu sendiri.

Banyak buku, majalah, film, atau acara di televisi/radio yang mengupas tentang sosok manusia, baik eksistensi, prestasi, keahlian, maupun perannya sebagai insan. Sosok manusia memang sangat menarik karena pada dasarnya manusia penuh misteri dan sangat unik.

Sejak pertama kali Allah menciptakan manusia, yaitu Adam dan Hawa, sejak itu pula manusia mendapat perintah memenuhi bumi dengan keturunannya dan berkuasa di atas bumi.

Ini merupakan hak istimewa sebagai manusia yang diciptakan Allah lebih dari makhluk lain di atas bumi. Dengan demikian, manusia adalah makhluk ciptaan yang mulia.

Selain itu, manusia pun diberi kehendak bebas dalam memilih, menentukan, dan bertindak. J Wesley Brill dalam buku Dasar yang Teguh (2012) mengatakan bahwa sejak diciptakan, manusia telah diberikan kehendak yang bebas.

Manusia bebas memilih, tetapi harus bertanggung jawab atas pilihan yang sesuai dengan kelakuan dan tabiatnya itu.

Manusia, menurut pandangan pelopor psikoanalisis Sigmund Freud (1856- 1939), seperti gunung es di samudra yang tampak bagian ujung atas, sebagian lagi yang besar tertutup air laut.

Ini menunjukkan bahwa yang tampak ujung atas adalah kesadaran manusia, sedangkan yang tak tampak adalah ketidaksadaran manusia.

Selain itu, Freud membagi kejiwaan manusia dalam tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah keinginan manusia seperti makan minum dan seks. Ego adalah diri sendiri yang mengarah kepada pikiran, perasaan, kemauan. Superego sebagai penjaga moral antara id dan ego.

(Baca juga : Egoisme)

Manusia memandang dirinya

Keberadaan manusia seutuhnya sebagai ciptaan Allah, ternyata dipandang beragam oleh manusia sendiri. Manusia memandang dirinya sendiri dari berbagai sisi sesuai keilmuan dan keyakinannya, seperti yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan.

Tetapi anehnya, manusia yang sudah sempurna ini malah dibandingkan dengan hewan hanya karena persamaan mekanis. Seperti persamaan pencernaan, berjalan, memiliki mata, hidung, pendengaran, dsb.

Ernst Haeckel (1834-1919), ahli biologi asal Jerman yang telah memberi nama ribuan spesies baru, berkeyakinan bahwa manusia sejajar dengan hewan yang menyusui.

Ditambah lagi dengan pandangan tokoh utama filsafat eksistensialisme, Friedrich Nietzcsche (1844-1900), menyebut manusia memiliki insting-insting mirip hewan yang sifatnya tak pernah puas dan selalu ingin berkuasa. Akibatnya, persis seperti yang dikatakan Thomas Hobbes (1588-1679) bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo homini lupus).
 
Lain halnya menurut Aristoteles (384-322 SM), manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang berpikir dan bertindak berdasarkan akal. Selain itu, manusia juga merupakan hewan yang berpolitik (zoonpoliticon), hidup bermasyarakat seperti berorganisasi, menciptakan tata tertib, berkomunikasi melalui bahasa.

Pythagoras (570 SM-495 SM) yang dikenal sebagai "Bapak Bilangan" malah meyakini bahwa ketika manusia mati, maka jiwanya pindah ke binatang. Apabila binatang itu mati, maka jiwanya pindah lagi ke binatang lainnya. Demikian seterusnya. Hal ini sebagai tanda penyucian jiwa. Jika sudah selesai, jiwanya kembali ke langit.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com