Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah SRI Menggantikan Cara Bertani Orang Indonesia?

Kompas.com - 24/10/2017, 21:49 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com –- Metode bertani System of Rice Intensification (SRI) telah masuk ke Indonesia sejak 2002 sebagai alternatif dari metode pertanian konvensional. Namun, hingga kini belum banyak lahan pertanian yang menerapkannya.

Di Pulau Jawa saja, hanya beberapa lokasi yang menerapkannya. Antara lain di Tulungagung, Malang, Kediri, Situbondo. Para petani di daerah itu diperkenalkan SRI oleh Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (FTP UGM).

Selain di Pulau Jawa, SRI juga telah merambah Nusa Tenggara Timur. Kepala Dinas Pertanian NTT Yohanes Tay Ruba mengatakan, SRI telah diterapkan di NTT secara sporadis pada tahun 2005, seperti di Kupang dan Flores.

Padahal, SRI memiliki keunggulan tersendiri bila dibandingkan dengan metode pertanian konvensional. Ia tidak membutuhkan banyak air sehingga sangat sesuai untuk diterapkan di daerah-daerah seperti Kupang, NTT yang curah hujannya sedikit dan memiliki risiko gagal panen yang lebih rendah.

Baca juga : Kekurangan Air Bukan Hambatan Bertani di NTT, Ini Rahasianya

“Memang yang menjadi tantangan kita persoalan penerimaan petani. Harapannya dengan adanya demplot (demonstration plot) baru, bisa jadi tempat sosialisasi SRI,” kata Yohanes di sela panen demplot milik Yanes sain, pemilik lahan di Tarus, Kupang, NTT.

Kurangnya penerimaan petani dikarenakan perbedaan cara menanam dengan sistem konvensional. SRI membuat gulma lebih banyak dan peningkatan produksi baru terjadi setelah 2-3 kali panen.

Chusnul Arif, peneliti Institut Pertanian Bogor yang juga terlibat dalam proyek pengenalan SRI di NTT membuat berkata bahwa SRI juga bisa menjadi akronim untuk Sabar, Rida, Ikhlas. Saat menerapkan SRI, Chusnul baru berhasil pada masa panen ketiga.

“SRI ini kan di luar mainstream, jadi enggak mudah. Butuh repot. Saya latih satu orang, saya bawa ke Jawa Barat kemudian dia praktek di desanya, sendirian. Dilihat aneh, menanam seperti itu. Musim pertama juga tidak bagus amat hasilnya, lalu diomongin yang enggak baik, jadi dia akhirnya balik lagi. Makanya butuh yang militan,” kata Chusnul.

Baca juga : Pakai Bioslurry, Panen Cabai Petani Ini Melimpah

Selain itu, Sekretaris Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gajah Mada (UGM), Murtiningrum menilai bahwa penyebaran penggunaan SRI sama dengan mengubah gaya bertani yang telah berlangsung turun temurun.

Dengan sistem konvensional, perlu 5-6 bibit padi per lubang, sedangkan pada SRI, hanya satu bibit setiap lubang.

“Perubahan teknologi orang kan tak bisa serta merta. Pembenihan yang 4-5 tahu-tahu harus ambil satu dan gak boleh ditancapkan. Itu kan sulit, mengubah kebiasaan yang berpuluh-puluh tahun. Jadi pasti mereka ada kesulitan,” kata Murtiningrum.

Untungnya, penyebaran SRI sudah menunjukkan tanda-tanda yang baik. Murtiningrum bercerita, FTP UGM telah mendapatkan “cucu” binaan. Dari kelompok petani di Tulungagung yang sempat didampingi pada 2012, SRI telah diajarkan kepada kelompok petani lainnya. 

Selain meningkatkan produksi, SRI juga disebut sebagai langkah adaptasi perubahan iklim.

FTP UGM menyebutkan adanya tren kenaikan suhu udara pada proyeksi tahun 2015 hingga 2040. Suhu rata-rata sebesar 28,2 derajat celsius, naik 0,4 derajat Celsius dari nilai suhu udara rata-rata tahun 1986-2014. Selain itu, proyeksi curah hujan hingga 2040 juga sangat fluktuatif.

Ke depannya, SRI akan digunakan untuk mengurangi risiko gagal panen akibat berkurangnya air untuk irigasi dan meningkatkan ketahanan pangan.

Program Manager Project Bayu Dwi Apri Nugroho juga mengatakan bahwa SRI diperkirakan mampu menahan laju emisi metana. “Kalau di luar NTT, (laju emisi metana lebih tinggi) antara 26-40 persen. Jadi bisa mereduksi segitu,” kata Bayu.

Besaran tersebut belum valid. Murtiningsih berkata bahwa perbaikan metodologi pengukuran masih perlu dilakukan. Kemungkinan, pihaknya akan merilis besaran penahanan laju emisi metana tahun depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com