KOMPAS.com - Jenis anggrek baru yang ditemukan oleh taksonom dari Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan biolog Universitas Indonesia benar-benar unik.
Anggrek itu merepresentasikan dunia kematian.
Secara taksonomi, anggrek tersebut termasuk golongan holomikotropik. Anggrek dari golongan ini menyukai lingkungan gelap, kemunculannya tak dapat diduga, tidak memiliki daun sehingga tidak berfotosintesis tetapi pada saat yang sama juga tidak bersifat parasit.
Dengan ciri-ciri tersebut, holomikotropik kerap disebut anggrek hantu.
Jenis baru yang ditemukan, punya nama ilmiah Gastrodia bambu, juga bukan seperti anggrek umumnya yang tampak menarik. "Bunga menghasilkan aroma ikan busuk untuk mengundang serangga polinator," kata Destario Metusala, peneliti Kebun Raya Purwodadi yang mendeskripsikan spesies ini.
Baca Juga: Anggrek Baru dari Kalimantan, Punya Cula!
Daripada sebagai calon tanaman hias baru, G bambu lebih menjadi simbol tantangan konservasi.
Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya berlebih, dan perubahan pada media tumbuh. Gangguan pada habitatnya, misalnya pembukaan rumpun bambu, dapat mengganggu pertumbuhan populasi anggrek unik ini.
Konservasi anggrek tersebut jadi tantangan besar karena membudidayakannya saja sulit.
"Penelitian terkait kemampuan adaptasi spesies ini dalam menghadapi perubahan iklim masih terus dilakukan melalui analisis anatomi dan fisiologi," kata Destario dalam keterangannya lewat surat elektronik, Sabtu (26/8/2017).
Gastrodia bambu memiliki bunga berbentuk lonceng dengan ukuran panjang 1,7-2 cm dan lebar 1,4-1,6 cm.
Bunga didominasi warna coklat gelap dengan bagian bibir bunga berbentuk mata tombak memanjang bercorak jingga. Pada satu perbungaan dapat menghasilkan hingga 8 kuntum bunga yang mekar secara bergantian. Perbungaan muncul dari tanah berseresah di bawah rumpun-rumpun bambu tua pada ketinggian 800 - 900 m dpl.
Baca Juga: Dengan "Iblis" di Makhkotanya, Anggrek Baru Ini Beri Kejutan pada Dunia
Riset tentang keragaman anggrek menjadi prioritas Kebun Raya Purwodadi dan Universitas Indonesia lewat program Indigenous Studies.
Spesies baru ini juga bisa dideskripsikan berkat keaktifan organisasi kemahasiswaan Canopy (Departemen Biologi, Universitas Indonesia) dan BiOSC (Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada) dalam membantu proses pengamatan habitat dan pencatatan record populasi.