Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Orang IPA dan Agama Perlu Wawasan Humaniora?

Kompas.com - 23/08/2017, 19:45 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Penganut radikalisme juga datang dari kalangan berpendidikan. Mengenyam bangku kuliah tak menjamin seseorang bisa berpikir lebih jernih.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengamini bahwa kalangan terpelajar ikut terpapar benih radikalisme.

Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius menyebut, para perekrut gerakan radikalisme memanfaatkan pemahaman keagamaan dan keilmuan untuk menebar kebencian dan teor.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah semakin pintar, seseorang jadi punya informasi yang beragam dan dengan begitu benih radikalisme menjadi sulit ditanam?

Azyumardi Azra mengatakan, cara berpikir hitam-putih membuat infiltrasi ajaran radikalisme menjadi lebih mudah. Maka, tak cukup hanya menekuni satu jenis bidang keilmuan tertentu.

Baca Juga: Sama-sama Berbasis Bulan, Kenapa Tahun Baru Kalender Islam dan China Beda?

Dari berbagai studi mengenai radikalisme dan terorisme, Azyumardi mengatakan jurusan eksak memiliki potensi yang lebih tinggi untuk terjadinya “pencucian otak”.

“Mahasiswa jurusan IPA itu harus diberikan ilmu humaniora, termasuk ilmu yang bersifat umum mengenai agama. Kalau tidak, karena kecenderungan eksakta ini, maka cara berpikirya jadi hitam putih,” kata Azyumardi di gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Rabu (23/8/2017).

Pendidikan multidisipliner itu tak hanya berlaku bagi mahasiswa eksak. Penekun ilmu keagamaan akan lebih baik bila mendapatkan perspektif baru dari ilmu humaniora.

“Kalau mahasiswa ilmu keagamaan, jangan hanya dari sudut teologis saja, tapi juga humaniora. Sehingga pemahaman keagamaan menjadi lebih luas. Ini perlu dilakukan agar menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang tak mudah terjerumus ke dalam paham radikal,” ucap Azyumardi.

Dalam pidatonya saat menerima penghargaan Sarwono Award 2017 hari ini, Azyumardi mengaku telah melakun hal tersebut.

Ia menjadi bagian dari perubahan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Saat itu, Azyumardi menjabat sebagai rektor.

“Tidak lain dimaksudkan agar kaum muda muslimin itu memiliki pandangan yang luas. Tidak doktriner dalam melihat agama tapi memiliki kaitan dengan bidang kebudayaan. Hanya dengan interaksi ilmu agama, ilmu yang sifatnya teologis ini, dengan ilmu humaniora maka bisa muncul generasi muda muslim yang memiliki perspektif intelektual yang luas,” ucap Azyumardi.

Baca Juga: Jangan Pernah Pertentangkan Sains dan Agama?

Bukan berarti perguruan tinggi menjadi peran kunci dalam memerangi radikalisme dan perilaku intoleran. Peran keluarga tak bisa dikesampingkan. Terlebih, saat pelaksanaan Pilkada Jakarta 2017, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan perilaku intoleran telah sampai pada usia anak.

Azyumardi mengimbau, keluarga memiliki peran pertama dalam mengembangkan nilai toleransi. Saling menghargai dan tenggang rasa menjadi wujud peneguhan budaya Indonesia.

“Ini tugas dan tanggung jawab kita mengembangkan paham keagamaan toleran, sosial budaya, di keluarga, saling menghargai. Karena memang tidak ada paham keagamaan yang monolitik. Jangan mudah menuding orang lain sesat, saya kira itu juga penting,” kata Azyumardi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com