Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sampai Di Manakah Perjalanan Kita Mencari Bumi Lain?

Kompas.com - 01/08/2017, 20:05 WIB
Monika Novena

Penulis

KOMPAS.com -- Kemana kita semua akan tinggal jika bumi hancur? Sebuah pertanyaan retoris mungkin, bahkan bagi sebagian orang akan buru-buru menjawab buat apa ambil pusing toh sebelum masa itu tiba kita semua sudah meninggal dunia.

Namun, bagaimana jika ternyata hal itu terjadi dalam waktu dekat? Beberapa kali asteroid dikabarkan mendekat dengan bumi, kabar yang terbaru sebuah asteroid seukuran pesawat nyaris menabrak bumi pada tanggal 20 Juli 2017. Untung saja tubrukan itu urung terjadi.

Lalu, amati bagaimana tempat tinggal kita yang mulai 'sakit'. Sebut saja: populasi yang semakin meningkat, sumber daya yang terkuras, polusi, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.

Pertanyaan mendasar inilah yang menggugah dan melahirkan pencarian-pencarian tempat yang layak bagi kehidupan di luar bumi, dan mencari bumi lain tentunya bukan perkara mudah.

(Baca juga: Tanpa Anda Sadari, Asteroid Seukuran Pesawat Nyaris Menabrak Bumi)

Banyak kriteria yang harus dipenuhi agar sebuah tempat bisa disebut bumi baru bagi manusia. Setidaknya, menurut Ferry M Simatupang, Dosen Program Studi Astronomi di Institut Teknologi Bandung, ada empat kriteria yang akan mendukung kehidupan.

Pertama, adanya keberadaan bintang pusat, di mana bintang tersebut akan memasok energi bagi kehidupan. Dalam konteks kehidupan kita, bintang tersebut adalah matahari. Kedua, tersedianya unsur berat yang akan membentuk planet berpenghuni.

Kemudian, ada waktu yang cukup untuk terjadinya evolusi menjadi mahluk hidup yang kompleks. "Kita pakai perkiraan evolusi bumi yang membutuhkan waktu 4 miliar tahun dari mahluk bersel satu menjadi mahluk hidup kompleks," katanya dalam International SETI Conference #2 yang diadakan oleh Indonesia Space Science Society (ISSS) Sabtu, (29/7/2017).

Terakhir adalah lingkungan yang aman. Jika berada terlalu dekat dengan bintang-bintang lain, ada potensi terjadinya supernova. Ledakan bintang inilah yang akan memicu gelombang dan akan melepaskan sinar kosmik, sinar gamma, dan sinar X yang akan membahayakan kehidupan.

"Ini adalah kriteria planet layak huni yang dibuat berdasarkan gambaran kehidupan bumi sendiri karena kita memang tidak pernah tahu soal kehidupan lain di alam semesta. Jangan-jangan alien tidak membutuhkan air atau udara," imbuhnya.

(Baca juga: Cepat atau Lambat "Kiamat" Akan Tiba, Manusia Harus ke Antariksa)

Elizabeth Tasker, peneliti dari Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) menilai, jika ingin mengetahui asal mula serta evolusi kehidupan di sistem tata surya, maka sangat penting untuk mempelajari tipe asteroid yang khas.

"Kami meluncurkan pesawat penjelajah asteroid, Hayabusa 2, untuk menemukan asteroid tipe C, asteroid dengan struktur yang tidak berubah selama 4,56 miliar tahun," jelas Tasker dalam pemaparannya.

Penjelajah asteroid itu akan kembali ke Bumi tahun 2020 mendatang dengan membawa sampel asteroid. "Meski kecil, kita sangat berharap bisa membuka misteri bagaimana kehidupan terbentuk," katanya.

Indonesia sendiri punya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Namun, untuk saat ini, badan tersebut lebih fokus mendalami isu-isu astronomi yang berdampak langsung dengan kehidupan sehari-hari.

"Misalnya saja pengamatan mengenai cuaca antariksa. Jadi belum secara spesifik mengarah ke isu pencarian kehidupan lain di alam semesta," kata Gunawan Admiranto, seorang peneliti di LAPAN.

(Baca juga: Waspada, Risiko Serangan Asteroid ke Bumi Meningkat)

Meski begitu, dia optimis astronomi di Indonesia akan berkembang. Seperti contoh, LAPAN kini sedang membangun obserservatorium nasional di pegunungan Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek ini akan menjadi observatorium terbesar di Asia Tenggara dan dilengkapi teleskop dengan panjang 3,8 meter.

Soal teknologi, Ferry juga menimpali dengan hal yang sama, bahwa kita masih bisa mengejar ketertinggalan itu. Namun, menurut dia, yang paling penting adalah membangun kesadaran terhadap sains.

"Masyarakat tertarik dengan astronomi, tetapi masih kurang kesadarannya. Terhadap apa yang akan terjadi dengan masa depan kehidupan kita atau soal apa yang akan kita hadapi di kemudian hari, itu yang perlu di bangun," imbuhnya.

Di luar sana, semua tengah berlomba-lomba menjawab sederet pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi kehidupan lain: berapa lama waktu yang dibutuhkan umat manusia mencapai planet layak huni atau teknologi apa yang akan gunakan. Apakah kita siap dengan semua itu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com