Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabar Baik, Pemulihan Terumbu Karang Indonesia Berjalan Positif

Kompas.com - 08/06/2017, 19:06 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Tren pemulihan kondisi terumbu karang Indonesia menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Berdasarkan pengamatan sejak 1993 hingga 2016, rata-rata tren pemulihan karang memiliki kecenderungan positif.

Peneliti senior Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP) Suharsono mengatakan, meski terjadi kenaikan karang dengan status baik dan cukup, tetapi pada penghujung tahun 2016 terjadi kenaikan kerusakanan karang.

Hal itu disebabkan oleh adanya pemutihan (bleaching event) karang yang diikuti dengan infeksi penyakit dan serangan hama. Pemutihan karang terjadi karena adanya kenaikan suhu air laut yang merupakan efek dari El Nino.

Terumbu karang di Indonesia itu trennya masih naik dan kisaran pemulihannya berada di 35 sampai 40 persen,” kata Suharsono di gedung LIPI, Jakarta, Rabu (7/6/2017).

Karang akan mati bila mengalami pemutihan selama lebih dari enam pekan dan untuk kembali berwarna diperlukan waktu tujuh hingga 10 tahun. Oleh karena itu, bila suhu kembali normal pada pekan kelima, misalnya, karang hanya akan berstatus sakit dan berangsur pulih.

(Baca juga: Terdampak Reklamasi, Lamun Sehat di Indonesia Tinggal 5 Persen)

Sumarsono berkata bahwa pihaknya telah melakukan verfikasi dan analisa data dari 108 lokasi dan 1.064 stasiun pemantauan untuk mengetahui kodisi karang selama tahun 2016.

Hasilnya, hanya 6,39 persen karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik. Karang ini merupakan karang alami yang belum tersentuh tangan manusia yang merusak. Kemudian, karang dengan status baik sebesar 23,40 persen, kondisi sedang sebesar 35,06 persen, dan kondisi buruk 35,15 persen.

Menurut Suharsono, selain kerena perubahan iklim, akar masalah kerusakan karang terjadi karena ulah tangan manusia. Penggunaan bom untuk menangkap ikan perlu mendapat pengawasan eksra. Dari sudut pandang nelayan, bom menjadi alat tangkap yang paling efektif dan tidak menghabiskan banyak biaya. Berbekal dengan modal Rp 50.000, bom telah dapat diciptakan.

Namun, bila bom digunakan, biota laut di sekitar lokasi pengeboman akan mengalami kerusakan. Tak hanya itu, telur ikan menjadi tidak bisa menetas akibat getaran dari bom.

"Saya kemarin menyelam di Kendari. Selama penyelaman masih terdengar dua kali ledakan. Kepala desa salah satu pulau di Sulawesi Selatan memperbolehkan penggunaan bom. Waktu kami ngobrol, dia bilang, ‘Ya pak ini dibom tiap hari ikannya masih ada terus kok.' Kalau berpikir begitu ya susah dikasih pengertian. Padahal di sana karangnya sudah habis,” ujar Suharsono.

Selain itu, nelayan pengembara juga ikut menyumbangkan kerusakan karang. Suharsono bercerita bahwa nelayan pengembara akan menghabiskan sumber daya yang ada di suatu tempat dan kembali ke tempat semula sekitar tiga sampai bulan kemudian. Di Indonesia, nelayan pengembara di antaranya adalah nelayan Madura, Bugis, Buton, dan Bajo.

Lalu, ulah manusia lainnya yang merusak karang adalah dengan perdangangan ilegal, dari nelayan dan pengepul yang tidak memiliki izin mengambil karang hingga eksportir nakal dalam roda putaran penjualan karang ilegal.

(Baca juga: Lestarikan Dugong untuk Lamun dan Manusia)

Suharsono menuturkan, perdagangan karang ilegal dapat berjalan dengan baik karena tingginya harga karang. Untuk karang seukuran genggaman tangan manusa dewasa, karang dihargai hingga 100 dolar AS. Oleh sebab itu, dia pun menyesalkan perlakuan pemerintah asing seperti China dan Hong Kong yang menerima masuknya karang ilegal dari Indonesia.

Sebaliknya, negara maju seperti Eropa, Amerika, dan Jepang mau bekerja sama dengan menolak datangnya karang ilegal.

"Saya pernah ngobrol dengan otoritas Hong Kong. Tolong dong kan sudah ilegal jangan mau menerima. Jawabannya apa? 'Itu kan persoalan negara kamu. Kenapa kamu tidak bisa mengawasi, sampai sini ya saya terima.' Kalau dengan negara maju ditolak. Itu bahaya kan. Kalau terus-menerus ya habis juga,” ujar Suharsono.

Peneliti senior LIPI ini menilai, bila dimanfaatkan dengan baik, karang dapat menghasilkan devisa besar bagi Indonesia melalui perdagangan karang dan pariwisata.

Sebab, bila dibudidayakan dengan benar, karang termasuk makhluk laut yang paling ramah. Karang tidak perlu diberi makan atau pun diberi vitamin tertentu dan dalam enam bulan, hasil transplatasi sudah bisa dipanen. Dari 569 jenis, 69 jenis karang bisa dikembangkan dengan transplantasi dan bila ingin menjalani bisnis micro aquarium, karang sudah bisa dipanen selama 3 bulan.

”Untuk wisata juga berjalan. Di Indonesia paling banyak ada di Bali dan Banyuwangi. Tapi beda dengan yang di Pulau Menjangan, itu jadi contoh kerusakan karang karena pariwisata,” kata Suharsono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com