Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/03/2017, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Semua regulasi kesehatan terkait pengendalian tembakau terancam gugur jika Rancangan Undang-Undang Pertembakauan disahkan. Masyarakat menjadi pihak yang dirugikan karena tidak terlindungi negara dari dampak buruk rokok bagi kesehatan. Pemerintah mempunyai waktu hingga 19 Maret untuk menyikapi RUU inisiatif DPR tersebut.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU Pertembakauan masih dibahas intensif dengan dua kementerian, yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian, serta lembaga pemerintah non-kementerian terkait.

Kalau sudah selesai pembahasannya, kata Pratikno, pemerintah akan melaporkannya kepada DPR melalui surat presiden. Ditanya apakah secara keseluruhan isi RUU Pertembakauan bisa diterima pemerintah, Pratikno tidak menjawab. "Tunggu pembahasan DIM-nya saja," ujarnya di Jakarta, Selasa (7/3).

Jika pemerintah menyetujui RUU Pertembakauan dibahas DPR, dan disahkan, semua regulasi kesehatan terkait pengendalian tembakau terancam gugur. Pasal 70 RUU Pertembakauan menyatakan, pada saat UU ini berlaku, semua ketentuan mengenai pertembakauan wajib disesuaikan dengan UU ini.

Anggota Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau, Julius Ibrani, mengatakan, meskipun mencantumkan pasal-pasal kesehatan, semangat pengendalian dampak buruk produk hasil tembakau terhadap kesehatan dalam RUU tersebut sangat lemah, lebih lemah daripada regulasi yang sudah ada.

Contohnya, peringatan kesehatan pada bungkus rokok di RUU Pertembakauan tidak disertai pencantuman gambar, hanya tulisan. Padahal, dalam aturan yang ada saat ini, pada bungkus rokok wajib dicantumkan peringatan kesehatan bergambar.

Bertabrakan

Secara substansi, kata Julius, RUU tersebut bertabrakan dengan 14 undang-undang lainnya, seperti UU Kesehatan, Perkebunan, Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta Cukai. Apa yang diatur dalam RUU tersebut banyak yang sudah diatur dalam regulasi lain.

RUU Pertembakauan akan mengeliminasi sembilan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengendalian tembakau yang mengutamakan urusan kesehatan di atas kepentingan lain, termasuk industri. Ini belum termasuk ratusan regulasi daerah terkait pengendalian tembakau.

Bahkan, RUU Pertembakauan juga mencantumkan sesuatu yang sudah ditolak dalam RUU Kebudayaan, yakni keretek sebagai warisan budaya. Sifat adiktif dari produk tembakau dan berdampak buruk bagi kesehatan yang seharusnya disebutkan ketika membahas regulasi terkait tidak terlihat dalam RUU itu. "RUU Pertembakauan ini mengedepankan kepentingan industri rokok, tapi dengan topeng membela petani," kata Julius.

40 persen masih impor

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo mengatakan, isi RUU Pertembakauan semata untuk melindungi dan membela petani tembakau. RUU itu mengatur impor tembakau maksimal 20 persen dari kebutuhan nasional. Saat ini impor tembakau mencapai 40-50 persen dari kebutuhan. Pabrik rokok juga wajib membina petani.

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar mengatakan, kepentingan industri tetap harus diperhatikan tanpa menafikan aspek kesehatan.

"Di satu sisi ada kepedulian pada aspek kesehatan, sementara di sisi lain Indonesia, kan, masih butuh penyerapan banyak tenaga kerja," kata Haris.

Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo menuturkan, jika melihat bukti empiris luas lahan pertanian tembakau, produktivitas, dan gangguan faktor cuaca selama ini, akan sulit memenuhi target kebutuhan tembakau minimal 80 persen dari dalam negeri. Kekurangan kebutuhan daun tembakau akhirnya akan dipenuhi dari impor.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com