Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/01/2017, 17:47 WIB

Merebaknya ujaran kebencian di masyarakat beberapa bulan terakhir mulai menimbulkan konflik. Rasa benci itu membuat banyak informasi bias, palsu, dan fitnah disebar. Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan. Bahkan, serangan fisik dan bentrokan sudah terjadi di beberapa daerah.

Kebencian sejatinya ialah emosi umum tiap individu. Namun, jika emosi yang menunjukkan ketidaksukaan itu disebarkan ke publik, itu bisa memicu konflik dan kejahatan atas kemanusiaan.

"Kebencian bisa menghilangkan harkat manusia, memunculkan bias, dan mengurangi empati," kata Gail B Murrow dan Richard Murrow dalam "A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in The Brain" di Journal of Law and the Biosciences, Maret 2016.

Namun, ujaran kebencian jadi strategi kelompok memprovokasi kebencian dan tindakan anarki. Materi kebencian yang disebarkan, menurut Jerome Neu dalam The Philosophy of Insults, 2008, ialah beda ras, jender, orientasi seksual, suku, agama, atau karakter kelompok lain.

"Sepanjang sejarah, strategi itu dipakai banyak kelompok untuk menghasut, membenci kelompok lain, dan menumbuhkan kebanggaan kelompoknya, termasuk Nazi Jerman," ujar ahli neurosains kognitif Universitas Miami, Amerika Serikat, Berit Brogaard, di Psychologytoday.com, 21 Desember 2016.

Pola pikir

Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Rabu (18/1), memaparkan, kebencian seseorang terkait dengan pola pikir kronis atau menetap yang dimiliki. Mereka memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahayanya.

Ketakmampuan melihat secara obyektif itu memicu kecemasan, kekhawatiran, atau keterancaman diri. "Pola pikir kronis yang menimbulkan kebencian kerap tak disadari," ucapnya.

Skema berpikir kronis dipengaruhi banyak faktor, termasuk pengasuhan dan pengalaman masa kecil. Orang-orang yang sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, cacian, kata-kata merendahkan, atau tak dihargai cenderung jadi pribadi berpandangan negatif.

Subyektivitas pada informasi membuat para penyebar kebencian sulit menilai secara proporsional. Akibatnya, mereka tak bisa berpikir kritis. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya yang diyakini benar. Selain itu, dianggap salah.

Meski demikian, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak menilai, kebencian yang marak di masyarakat muncul akibat situasi politik, bukan perilaku permusuhan bawaan kepribadian seseorang. Situasi politik mengubah sifat alamiah otak, menyeret sebagian orang pada arus kebencian.

Secara alamiah, otak manusia menghindari kebencian. Karakter utama otak ialah menyukai atau memburu kesenangan dan menghindari hal tak menyenangkan. Karena kebencian tak menyenangkan, manusia sejatinya tak suka membenci.

Kebencian juga menguras energi otak. Benci membuat otak menguras energi sebagai kompensasi kebencian. Itu membuat otak tumpul, tak bisa berpikir tajam. "Akibatnya, mereka yang membenci sulit berpikir dan bertindak adil," ujarnya.

Oleh karena itu, maraknya penyebaran kebencian dinilai Taufiq tak perlu terlalu dikhawatirkan. Pada jangka pendek, situasi ini menyebalkan. Namun, itu tak akan lama karena kebencian politik mudah berubah, tergantung dari kemampuan mereka yang benci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain.

Thinkstockphotos Ilustrasi
Individu ke kelompok

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com