KOMPAS.com – Kerusakan bumi kian berdampak terhadap penghuninya, termasuk manusia. Udara makin kotor, air bersih lebih sulit didapat, belum lagi cuaca tambah tak menentu.
Beberapa film Hollywood bahkan pernah menggambarkan bumi yang sedang “sekarat”. Dalam film Interstellar, misalnya, tanah digambarkan tak mampu lagi memproduksi pangan selain jagung. Hujan pun dikatakan hanya turun satu-dua kali selama setahun.
Makin memprihatinkan, di situ tergambar debu berterbangan di mana-mana mengotori rumah dan paru-paru. Udara bersih sulit didapat. Bumi di ambang kehancuran. Neraka pun berasa mendadak pindah ke Bumi.
Dalam versi nyata, cuaca memang kian ekstrem. Kemarau menjadi sangat panas sampai membuat beberapa wilayah di Indonesia gagal panen pada 2016. Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, contohnya, ratusan petani jagung gagal memanen hasil kebunnya.
(Baca: Gagal Panen, Ratusan Petani Jagung di Karo Merana)
Nyata juga, suhu bumi semakin panas. Dalam tiga bulan pertama pada 2016, suhu rata-rata bumi naik 1,15 derajat Celsius. Angka ini lebih tinggi 0,28 derajat Celsius dibanding catatan tahun sebelumnya.
Jika dibiarkan, tak cuma panen gagal, kenaikan suhu bahkan ditengarai bisa berdampak pada pencairan es di Antartika. Penelitian Penn State University pada 2016 mendapati proyeksi kenaikan muka laut global mencapai 1,14 meter pada 2100.
"Kenaikan muka air laut tiap tahun lebih cepat dengan suhu terus menghangat," ujar Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Dodo Gunawan, seperti dikutip harian Kompas edisi Jumat (1/4/2016).
Ia mengatakan, secara umum negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan mengalami kenaikan muka air laut sekitar 40 sampai 60 sentimeter sampai akhir abad ini.
Namun, prediksi tersebut bisa jadi meleset—semakin buruk—jika masyarakat dunia berpangku tangan terhadap laju emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab kenaikan suhu bumi. Kenaikan muka air laut bisa jadi dua kali lipat lebih tinggi.
Kontribusi
Berbeda dengan film Interstellar, kita tak bisa tiba-tiba "kabur" mencari kehidupan baru di planet lain, ketika kondisi Bumi sudah tak terselamatkan. Perkembangan teknologi terkini belum cukup mumpuni menjalankan misi macam itu.
Cara terbaik adalah mencegah atau setidaknya memperlambat proses pemanasan bumi dengan menekan jumlah emisi. Indonesia—bersama lebih dari 130 negara lain—sebenarnya sudah sepakat untuk lebih gencar menekan GRK sejak menandatangani Kesepakatan Paris di New York, AS, pada 22 April 2016.
Berdasarkan basis emisi pada 1990, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi 26 sampai 41 persen pada 2020 dan 29 sampai 41 persen pada 2030.