Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/11/2016, 14:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Kekosongan obat antiretroviral atau ARV bagi orang dengan HIV/AIDS di sejumlah daerah terus berulang dari tahun ke tahun. Itu dikhawatirkan menyebabkan pasien putus berobat dan dalam jangka panjang berakibat pada kebalnya virus terhadap obat.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana, Senin (21/11), di Jakarta, pengguna ARV bingung, mengapa ARV bersubsidi kerap kosong di fasilitas kesehatan. Kekosongan ini terus berulang dari tahun ke tahun. Selama ini, tak ada jawaban yang jelas dari Kementerian Kesehatan mengapa hal itu bisa terjadi.

"Di akhir tahun biasanya stok ARV kosong. Karena kekosongan ARV ini berulang, jangan-jangan ada persoalan sistemik, tidak cuma kasuistis, dalam pengadaannya," ujar Aditya.

Untuk menyiasati kekosongan itu, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) meminjam ARV kepada sesama ODHA dan akan diganti saat obat tersedia. Selain itu, ada juga ODHA yang akhirnya diberi jenis obat ARV lain.

Meski demikian, Aditya khawatir, jika ARV bersubsidi kerap tak tersedia di fasilitas kesehatan, akan ada banyak ODHA putus pengobatan. Bahkan, di Jakarta, pasien putus pengobatan mencapai 24-27 persen. Proporsi itu lebih banyak dibanding ODHA yang baru memulai pengobatan.

Dalam jangka panjang, jika pengobatan ARV kerap terputus, dikhawatirkan dapat menyebabkan virus HIV jadi kebal terhadap obat. Jika itu terjadi, ODHA harus mengonsumsi obat lini kedua yang lebih mahal.

Anggota Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Aci (38), mengakui, beberapa bulan terakhir distribusi ARV tersendat, terutama ARV jenis kombinasi dosis pasti (FDC) yang diminum sekali sehari. Aci yang mengonsumsi ARV sejak lama tidak mengonsumsi ARV jenis FDC, tetapi ARV yang dua obat sekali minum.

Menurut pemantauan IAC, kekosongan ARV kerap terjadi pada bulan-bulan tertentu, yakni Juni-Agustus, Oktober-November, dan Desember. Sejak 2013, keadaan tahun ini merupakan yang paling parah.

Enam lokasi

Irwandy Widjaja, Petugas Mobilisasi Komunitas IAC, memaparkan, di enam lokasi terjadi kekosongan ARV yang sudah dilaporkan ke Kementerian Kesehatan, pekan lalu. Keenam lokasi itu ialah RSUD Kota Bekasi, RSUD Achmad Mochtar Kota Bukittinggi, Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso di Jakarta Utara, sejumlah fasilitas kesehatan di Kota Makassar, Rumah Sakit Borromeus Kota Bandung, dan Rumah Sakit Ario Wirawan Kota Salatiga.

Umumnya ARV yang tak tersedia di keenam tempat itu adalah ARV jenis FDC bagi orang dewasa dan anak. Obat itu berisi tiga bahan aktif dan diminum satu kali sehari. "Di RSPI Sulianti Saroso, ARV jenis FDC kurang. Pasien yang seharusnya mendapat 30 butir sebulan hanya diberi 10 butir," kata Irwandy.

Dikirim ulang

Dari enam lokasi yang dilaporkan, IAC mendapat kabar dari satu daerah saja, yakni Makassar. Menurut informasi Kementerian Kesehatan, ARV dikirim sejak dua pekan lalu lewat jalur laut, tapi belum sampai Makassar. Menurut rencana, obat itu dikirim ulang lewat jalur udara.

Manajer Program Jaringan Indonesia Positif Doddy Parlinggoman menuturkan, karena kerap kosong, bahkan ada ARV yang kedaluwarsa, pasien jadi kebingungan. Petugas layanan tak memberi penjelasan memuaskan terkait perubahan obat yang berbeda dari biasanya karena stok kosong atau kenapa obat yang diberikan nyaris kedaluwarsa.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, pengadaan obat ARV sudah dilakukan Direktorat Jenderal Bina Farmasi Kementerian Kesehatan dan telah didistribusikan. "Mungkin obat belum sampai di kabupaten. Belum semua obat ARV didesentralisasi, masih di provinsi," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com