Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Alam Semesta Mengembang Semakin Cepat? Jangan-jangan Kita Salah...

Kompas.com - 25/10/2016, 17:30 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Tahun 2011, tiga astronom menerima Nobel Fisika karena menemukan bukti alam semesta mengembang dengan kecepatan yang terus bertambah. Temuan itu memicu konsensus bahwa alam semesta dipengaruhi oleh energi misterius yang disebut energi gelap.

Namun kini, Subir Sarkar dari University of Oxford menyatakan, temuan para pemenang nobel itu salah. Dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Scientific Report pada Jumat (21/10/2016), ia mengatakan, betul bahwa alam semesta mengembang, tetapi dengan kecepatan konstan.

Studi Sarkar kontroversial. Bila studi dilakukan dengan cara yang tepat dan kesimpulannya terbukti benar, akan ada perubahan besar dalam cara manusia melihat alam semesta. Energi gelap tak dibutuhkan dan bisa jadi dianggap tak ada.

Jelasnya begini. Tahun 1990-an, Saul Perlmutter dari University of California Berkeley, Adam Riess dari Johns Hopkins University dan Brian Schmidt dari Australian National University meneliti supernova tipe 1A, supernova paling terang dengan kecerlangan 5 miliar kali lebih besar dari matahari, hasil ledakan bintang katai putih.

Dengan bantuan teleskop antariksa Hubble dan sejumlah teleskop mumpuni di permukaan bumi, ketiganya mengukur kecerlangan supernova. Karena sangat terang, kecerlangan supernova bisa menjadi indikator jaraknya. Perubahan warnanya bisa menjadi penanda kecepatan geraknya.

Para peraih Nobel Fisika 2011 tersebut menemukan bahwa supernova 25 persen lebih redup dari yang seharusnya. Dari data itu, ketiga ilmuwan menyimpulkan bahwa alam semesta bergerak dengan kecepatan yang terus bertambah. Itu aneh sebab ada gravitasi yang seharusnya membuat kecepatan melambat.

Untuk menerangkan pengembangan alam semesta yang terus dipercepat itu, astronom kemudian "melahirkan" energi gelap. Efek energi gelap sangat kecil dan hanya bisa dilihat pada benda langit yang sangat jauh dari bumi, tapi dampak energi gelap lebih besar dari gravitasi.

Sarkar tak mau kalah. Diberitakan Science Alert, Senin (24/10/2016), ia mengatakan bahwa timnya menggunakan data yang lebih besar dari apara pemenang Nobel. Ia juga menyatakan bahwa tingkat kepercayaan hasil risetnya lebih tinggi daripada Schimdt dan rekannya.

"Kami menganalisis 740 supernova tipe 1A, 10 kali lebih besar daripada sampel penelitian sebelumnya, dan menemukan bahwa bukti pengembangan yang dipercepat, paling bagus adalah 3 sigma. Ini jauh dari standar 5 sigma yang digunakan untuk menyatakan bahwa hasil studi signifikan," ujar Sarkar.

"Pandangan yang lebih kaya untuk menyatakan bahwa alam semesta tidak homogen, dan bahwa materinya tidak seperti gas ideal - dua asumsi dalam kosmologi standar - mungkin bisa diterangkan tanpa kehadiran energi gelap," ungkap sarkar dalam publikasinya.

Sarkar sadar risetnya akan memicu perdebatan di kalangan fisikawan dan astronom. Ia tahu butuh kerja ekstra untuk meyakinkan fisikawan lain bahwa teori tentang alam semesta yang diyakini sekarang sebenarnya sangat bisa diperdebatkan.

"Saya harap ini bisa memicu analisis data komosologi yang lebih baik dan menginspirasi para pakar fisika teori untuk mengeksplorasi model komologi yang lebih kaya," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com