Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Pangandaran: Tsunami Dahsyat Tanpa Isyarat Gempa

Kompas.com - 19/07/2016, 18:14 WIB

Oleh : Abdul Muhari, PhD

Tanggal 17 Juli 2016, tepat sepuluh tahun kejadian tsunami Pangandaran yang merenggut 668 korban jiwa, 65 hilang (diasumsikan meninggal dunia) dan 9.299 lainnya luka-luka (WHO, 2007).

Kejadian ini dari sisi sains merupakan salah satu tonggak terpenting dalam pemahaman tentang karakteristik tsunami di Indonesia. Pasalnya, berbeda dengan tsunami Aceh 2004, tsunami Pangandaran tidak didahului oleh gempa kuat yang bisa menjadi pertanda bagi masyarakat akan potensi tsunami.

Hasilnya, evakuasi tidak berjalan efektif dan korban jiwa dan harta kembali berjatuhan.

Saat ini setelah sepuluh tahun berjalan, sudah seharusnya ada pembelajaran yang dapat diambil untuk dijadikan pedoman menghadapi kejadian serupa di masa depan.

Tsunami tanpa tanda gempa

Pada hari Senin 17 Juli 2006 pukul 15:19 sore, terjadi gempa dengan kekuatan M7.7 dengan pusat di lepas pantai Pangandaran. Gempa dengan kekuatan yang termasuk ‘moderate ’ ini biasanya tidak menimbulkan tsunami dengan ketinggian lebih dari 5 meter.

Akan tetapi ternyata gempa Pangandaran menimbulkan tsunami dengan ketinggian rayapan mencapai 21 meter (Fritz dkk, 2007).

Jenis tsunami seperti ini dikategorikan oleh Kanamori (1972) sebagai tsunami-earthquake yaitu gempa yang membangkitkan tsunami dengan magnitudo lebih besar daripada magnitudo gempanya. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana adalah gempa yang membangkitkan tsunami jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi tsunami rata-rata yang dibangkitkan oleh gempa dengan kekuatan yang sama.

Kejadian seperti ini dibangkitkan oleh gempa dengan karakteristik sedikit berbeda dari gempa pada umumnya, dimana pelepasan energi gempa tersebut memakan waktu lebih lama dibandingkan gempa pada umumnya, sehingga getaran gempa tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat di daerah pantai.

Penelitian Muhari dkk (2007) menyebutkan bahwa rata-rata 40% masyarakat di Cilacap, Sukaresik, Wonoharjo dan Pangandaran tidak merasakan adanya gempa sebelum tsunami datang. Sebanyak 40% lainnya merasakan gempa yang sangat lemah dan kurang dari 20% lainnya yang merasakan gempa cukup kuat.

Data tersebut menjadi dasar yang menjelaskan kenapa sebagian besar masyarakat tidak melakukan evakuasi sebelum tsunami datang atau baru evakuasi setelah gelombang sudah berada di bibir pantai.

Sebenarnya paska tsunami 2004 di Banda Aceh, masyarakat sudah teredukasi bahwa biasanya  tsunami didahului oleh air surut, meski tak selalu begitu.

Dalam kasus Pangandaran, tsunami datang bertepatan dengan air surut sehingga tidak terpantau dengan jelas. Apalagi ditambah ciri khas gelombang laut selatan yang besar, surutnya air  tidak disadari.

Problem dalam sistim peringatan dini tsunami

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com