Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Everest Begitu Mematikan?

Kompas.com - 07/06/2016, 11:51 WIB
Monika Novena

Penulis

KOMPAS.com - Puncak Everest merupakan impian bagi hampir semua pendaki. Tapi bukan hal yang mudah untuk menakhlukkan puncak tertinggi di dunia ini.

Sejak musim pendakian resmi dibuka April lalu, Puncak Everest sudah memakan korban pertamanya. Empat orang pendaki dan seorang porter tewas dalam ekpedisi menuju puncak setinggi 8.850 meter dari permukaan laut.

Diantara banyak sebab kematian, seperti longsor dan bencana lain, penyakit ketinggian diduga menjadi sebab kematian utama para pendaki Everest.

Di Everest, penyakit tersebut bisa muncul ketika seseorang mencapai ketinggian sekitar 2.440 meter. Jika pendaki tetap berada di bawah ketinggian 3.600 meter, biasanya penyakit ketinggian tak berkembang lebih buruk.

Menurut Badan Kesehatan Nasional Inggris, seseorang yang terkena penyakit ketinggian akan menunjukkan beberapa gejala antara lain sakit kepala, kelelahan dan pusing.

Jika tidak segera mendapat bantuan medis, penyakit ini bisa jadi lebih parah dan mengakibatkan seseorang kesulitan berjalan, sesak napas, batuk cair berwarna merah mudah dan berbusa, kebingungan, hingga kehilangan kesadaran.

Eric Weiss, profesor bidang kesehatan darurat Univeritas Stanford menggambarkan, saat berada di Base Camp Khumbu Glacier di ketinggian 5400 meter, kadar oksigen hanya sekitar 50 persen dari kondisi normal.

Oksigen akan terus menurun hingga sepertiganya saat berada di puncak Everest yang memiliki ketinggian 8.850 meter di atas permukaan laut.

Semakin tinggi, tekanan udara semakin rendah. Tekanan udara yang rendah tersebut membuat oksigen lebih menyebar sehingga lebih sedikit.

"Pengurangan tekanan udara dan oksigen yang berarti punya efek merugikan pada otak dan tubuh," jelas Weiss seperti dikutip Foxnews, Rabu (1/6/2016) lalu.

Penurunan tekanan udara dan oksigen yang memicu penyakit ketinggian akan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di otak atau paru-paru atau keduanya sekaligus.

Penumpukan cairan di otak akan mengakibatkan seseorang kehilangan koordinasi. Hal ini akan menyebabkan koma bahkan kematian.

Sementara itu, penumpukan cairan pada paru-paru yang akan mengakibatkan seseorang kesulitan bernapas, efeknya sama seperti tenggelam. Akhirnya, seseorang bisa meninggal dunia.

Pada para calon pendaki, Weiss menyarankan, bila sudah mengalami penyakit ketinggian ringan pada ketinggian sekitar 2.400 meter, pendaki menunda dahulu perjalanan, bertahan selama 24-48 jam.

Jika kondisi tak menjadi lebih baik, Badan Kesehatan Inggris menyarankan pada pendaki untuk turun hingga ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Saat kondisi sudah tak memungkinan untuk melanjutkan perjalanan, yang sering terjadi, orang justru menolak untuk turun ke bawah karena mereka berpikir puncak sudah cukup dekat dan mereka harus melanjutkannya. Nyatanya justru berujung kematian.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com