KOMPAS.com — Perhatikan sekeliling kita. Setiap orang memiliki bentuk hidung yang berbeda-beda. Ada yang pesek, ada yang mancung.
Studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications menyingkap empat gen yang memengaruhi bentuk hidung orang di seluruh dunia.
"Penemuan masing-masing peran gen membantu kami untuk menggabungkan kembali jejak evolusi dari Neanderthal ke manusia modern," kata Kaustubh Adhikari, ahli biologi dari Universitas College London, seperti dikutip Livescience, Kamis (19/5/2016).
Dia menambahkan, hal ini membawa kita lebih dekat untuk mengerti bagaimana gen bisa memengaruhi rupa seseorang, yang sangat penting juga dalam dunia forensik.
Untuk mengetahui hal yang memengaruhi bentuk hidung, para peneliti mempelajari sekitar 6.000 orang dari Kolombia, Peru, Brasil, dan Meksiko.
Mereka tergabung dalam studi Candela, sebuah proyek penelitian mengenai keragaman biologis dari orang-orang yang tinggal di Amerika Latin.
Orang yang menjadi partisipan merupakan keturunan Kaukasia, Afrika, Indian, yang memililki variasi muka yang beragam.
Tim menganalisis aspek muka partisipan dan melakukan rekonstruksi dari 3.000 orang partisipan untuk mengukur secara pasti wajah mereka.
Tim menganalisis gen dari orang-orang tersebut dan mengidentifikasi tiga gen yang diketahui memengaruhi pembentukan tulang dan pertumbuhan tulang rawan juga diprediksi bentuk hidung.
Dua gen yang disebut GLI3 dan PAX1 mempunyai efek besar pada lebar lubang hidung sementara gen yang ketiga yang disebut DCH2 mempunyai kontrol akan bentuk ujung hidung. Gen keempat disebut RUNX2 berkaitan dengan lebar hidung.
Menariknya, tiga gen, yaitu GLI3, RUNX2, dan DCH2, sepertinya berubah selama periode manusia modern. Temuan ini menunjukkan bahwa gen tersebut telah berada di bawah tekanan kuat dari seleksi alam pada masa lalu.
Selain gen, peneliti juga menduga bahwa bentuk hidung yang berbeda juga disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk alasan yang berbeda pula.
"Sebagai contoh, hidung mancung yang ramping pada orang Eropa bertujuan untuk adaptasi dari cuaca yang dingin serta kering," kata Andres Ruiz-Linares, ahli biologi University College London.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.