Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kewaspadaan pada Satwa Liar, Bukan Hanya untuk King Cobra

Kompas.com - 11/04/2016, 22:12 WIB

KOMPAS.com - Interaksi manusia dengan satwa liar untuk pertunjukan atau hiburan adalah kisah lama dan milik dunia. Jenis satwa yang digunakan bisa berbeda-beda, tetapi satu yang seharusnya sama: mengenal dan mengantisipasi risiko yang ditimbulkan.

Terkait risiko, awal April 2016, publik disodori kisah getir. Seorang biduan dangdut asal Karawang, Jawa Barat, dengan nama panggung Irma Bule, meninggal setelah dipatuk ular king kobra saat bernyanyi. Ia melanjutkan aksi panggung dengan menyelesaikan lagu setelah diberi pertolongan pertama oleh pawang ular dengan menyedot luka patukan.

Patukan king kobra tidak bisa dianggap sepele. King kobra merupakan ular berbisa mematikan sehingga sangat penting mengetahui dampaknya. Tampil tetap selamat setelah beraksi bersama satwa liar mematikan sebenarnya bukan soal nasib baik atau buruk, melainkan soal antisipasi risiko.

Ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia Amir Hamidy mengatakan, king kobra merupakan ular berkemampuan terunggul di antara ular lain, termasuk dalam hal mematikan. Bisa ular itu punya tiga sifat sekaligus, yaitu neurotoksik (berdampak pada saraf), kardiotoksik (merusak jantung), dan sitotoksik (merusak sel).

"Bisa seekor king kobra dapat membunuh satu gajah dalam empat jam," kata Amir, di Jakarta, Jumat (9/4). Pada kasus patukan terhadap manusia, bisa king kobra membawa kematian dalam 15-30 menit jika tanpa pertolongan medis.

Pertolongan medis itu pun ada dasar pengetahuan yang benar. Menurut dosen bidang studi gigitan ular dan toksinologi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Tri Maharani, menghisap darah dari sumber luka patukan ular tidak tepat. "Bisa ular menyebar melalui pembuluh limfatik, bukan pembuluh darah. Jadi, yang diisap bukan bisa ular, melainkan hanya darah," tuturnya.

Pertolongan pertama yang tepat adalah membebat luka dengan perban elastis dan mengimobilisasi (meminimalkan gerakan) bagian yang tergigit dengan dipasangi spalk atau bidai. Hal lain, siapa pun yang dipatuk ular berbisa seharusnya langsung beristirahat.

Bergerak aktif justru membuat bisa menyebar semakin cepat hingga ke otot pernapasan. Sifat bisa yang neurotoksik membuat otot pernapasan lumpuh, yang ditandai pusing, muntah, kejang, sesak, nyeri, gagal napas, hingga meninggal.

Hingga saat ini, anti bisa ular king kobra belum tersedia di Indonesia. Ketersediaannya harus dipesan dari Thailand. Namun, bukan berarti tidak ada peluang penyembuhan.

Tahun 2014, kata Tri, salah satu anggota Magic Cobra di Malang, Jawa Timur, dipatuk king kobra. Ia segera dibawa ke RSUD Dr Saiful Anwar. Serum anti bisa ular yang diberikan tidak sesuai, tetapi pasien langsung mendapat terapi suportif guna menyokong saraf pernapasan yang lumpuh, antara lain dengan ventilator. Pasien itu akhirnya terselamatkan.

Evolusi king kobra

Amir menjelaskan, evolusi king kobra paling maju dibandingkan dengan jenis ular lain. Selain dari bisa, kemajuan itu ditunjukkan kebiasaan king kobra memakan ular lain (tetapi sangat jarang memakan jenisnya sendiri). King kobra juga satu-satunya ular yang membuat sarang bagi telurnya, memanfaatkan serasah daun.

Ular jenis itu tersebar mulai dari India hingga Asia Tenggara. Di Indonesia, persebaran terentang dari Sumatera hingga sekitar Sulawesi. Habitatnya rata-rata di hutan primer, terutama di sekitar rumpun bambu. Belum ada data jumlah di alam, tetapi king kobra diperdagangkan terbatas. Untuk ekspor, kuotanya 100 ekor per tahun di Indonesia.

Jika jenis ular kobra biasa fokus mewaspadai kondisi yang ada di depannya, jenis king kobra sensitif pada segala arah. Itulah yang membuat seseorang sangat sulit memegang king kobra.

Mendekati dari arah belakangnya pun susah karena king kobra akan segera berbalik dan siap mematuk. King kobra merupakan ular berbisa terpanjang. Panjangnya bisa mencapai 6 meter. Ular itu juga dapat menegakkan dua pertiga panjang tubuhnya, menyisakan sepertiganya yang tetap menapak di tanah.

Apa yang dialami Irma Bule adalah satu dari sekian banyak kasus patukan ular di Indonesia. Tri memperkirakan, 3-5 kasus patukan ular terjadi per minggu di setiap daerah. Selama tahun 2015, ada 5-7 kasus per minggu di Yogyakarta, 3-5 kasus per minggu di Blitar (Jawa Timur), 10-15 kasus per minggu di Serang (Banten), 3-5 kasus per minggu di Banda Aceh (Aceh), dan tidak ketinggalan di Jakarta ada 5-10 kasus per minggu. Jumlah yang termasuk tidak sedikit.

Kasus patukan ular dalam dunia hiburan seharusnya bisa diantisipasi apabila para pihak mengenali dan mengetahui risikonya. Antisipasi berlaku pada berbagai interaksi dengan segala jenis satwa liar. (JOG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com