Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal LGBT, Ilmuwan Belum Mampu Mencerahkan Publik

Kompas.com - 09/02/2016, 19:49 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com — Dunia sains terbuka pada banyak hal, tetapi kurang pada urusan seks, jender, dan orientasi seksual.

Sementara ilmu psikologi, neurologi, fisiologi, genetika, dan ekologi perilaku memberi petunjuk tentang proses di balik pembentukan identitas seks, jender, dan orientasi seksual, cukup banyak pula ilmuwan yang belum menyerapnya.

Akibatnya, di tengah isu lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) yang ramai belakangan ini, ilmuwan belum mampu mencerahkan publik dan membantu mengurangi diskriminasi.

Neurolog dari Rumah Sakit Mayapada, Roslan Yusni atau Ryu, mencontohkan yang terjadi pada kalangan dokter.

Neurologi kini telah mengungkap bahwa orientasi seksual seks, jender, dan orientasi seksual disebabkan oleh variasi struktur otak. Variasi tersebut terbentuk sejak masa kehamilan sekitar 8 minggu.

Variasi itu bisa dibuktikan lewat pindai Positron Emission Tomography (PET). Bagian otak yang disebut amigdala pada laki-laki homoseksual mirip dengan perempuan heteroseksual.

"Tapi, masih banyak dokter yang belum tahu itu," kata Ryu dalam diskusi di Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Selasa (9/2/2016).

Menurut Ryu, masih banyak dokter yang menganggap bahwa homoseksualitas adalah penyakit.

Permasalahan lain dalam dunia kedokteran Indonesia, menurut Ryu, adalah adanya penolakan hasil riset karena alasan kepercayaan.

"Menganggap bahwa science dan keyakinan adalah dua hal yang terpisah. Kalau tidak sesuai keyakinan, maka science-nya diabaikan," imbuhnya.

Dalam soal LGBT, walaupun sains mengungkap bahwa itu adalah variasi, keyakinan akhirnya mematahkan.

Peneliti pada Pusat Kajian Jender dan Seksualitas Universitas Indonesia mengatakan kasus yang sama pada dunia psikologi.

"Homoseksualitas sudah lama dihapus dari golongan gangguan jiwa, tetapi sampai sekarang masih banyak psikiater dan psikolog yang belum tahu," kata Irwan.

Dalam soal seksualitas, banyak psikolog belum bergerak dari pandangan Sigmund Freud seabad lalu. Padahal, seksualitas dalam pandangan Freud telah usang.

Di sisi lain, ada keengganan dari kalangan ilmuwan untuk berpendapat tentang seksualitas.
"Mungkin karena ini sensitif," kata Irwan.

Di tengah penghakiman, sains sebenarnya bisa memberi pencerahan, setidaknya mengurangi aksi diskriminasi secara verbal maupun tindakan.

Irwan menekankan pendekatan dialog untuk menumbuhkan pemahaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com