Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Rompi Antikanker Warsito, Apakah Kaji Ulang Cukup?

Kompas.com - 08/12/2015, 19:34 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Langkah Kementerian Kesehatan menghentikan sementara kegiatan pengobatan kanker di CTECH Labs Edwar Technology di Alam Sutera milik Dr Warsito P Taruno dinilai tepat. Namun, langkah mengkaji ulang selama satu bulan dinilai tak cukup untuk memberi bukti bahwa teknologi terapi kanker yang dikembangkan pusat riset itu aman.

"Review oleh Kemenkes tidak cukup. Review Kemenkes harus ke luar negeri juga," kata Danang Birowosuto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Senior Research Fellow program CINTRA di Nanyang Technological University yang menekuni fisika medis.

CTECH Labs Edwar Technology mengembangkan 2 inovasi terkait kanker, yaitu Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) yang merupakan teknologi pemindaian 4D pertama di dunia serta Electrical Capacitive Cancer Theraphy (ECCT) yang berguna untuk membantu penyembuhan kanker. Wujudnya adalah rompi dan helm antikanker.

Riset lab itu mulai mengundang kontroversi setelah secara terbuka membuka layanan penyembuhan kanker. Ada 6.000 pasien yang telah menggunakan teknologi antikanker Warsito sekaligus menjadi obyek studi. Riset mengundang kontroversi sebab ECCT dianggap belum teruji dan membuat kondisi penderita kanker memburuk karena meninggalkan perawatan medis.

Minggu lalu, Kementerian Kesehatan melayangkan surat kepada pemerintah Kota Tangerang untuk menertibkan lab Warsito, menghentikan kegiatan risetnya. Beberapa hari kemudian, Badan Litbang Kemenkes dan Warsito bersepakat untuk melakukan review selama sebulan tentang kegiatan lab Warsito serta efektifitas pengobatannya.

Danang menilai, ada cara lain yang lebih tepat dan obyektif untuk mengkaji ulang dan melibat. "Tinggal meng-hire peneliti-peneliti Indonesia di luar sana yang mampu menilai kualitas riset," kata Danang saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/12/2015).  

"Justifikasi hasil penelitian adalah internasional, tidak pernah lokal. Sebagai contoh, Jepang pada awalnya juga sangat kuat pada konten lokal. Biarpun mereka banyak menerima hadiah nobel belakangan ini, mereka pun mulai terbuka, karena mereka menyadari lingkup peer review itu internasional," imbuhnya.

Cara lain yang paling tepat untuk menguji hasil penelitian adalah memublikasikannya di jurnal ilmiah. Danang mengatakan, Warsito telah membuat inovasi berdampak saat mengembangkan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT). Publikasinya telah terbit di sejumlah jurnal dan disitasi banyak ilmuwan.

Langkah yang sama seharusnya juga bisa dilakukan dalam pengembangan Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT) yang menjadi dasar pengembangan rompi dan helm untuk terapi kanker. "Beliau (Warsito) terkenal untuk inovasi ECVT-nya. Kenapa untuk ECCT beliau tidak mau go internasional?"

Riset efektifitas ECCT telah dilakukan, diantaranya oleh peneliti lulusan Tokyo University Firman Alamsyah dan Sahudi Salim dari Universitas Airlangga. Meski hasil penelitian itu dipaparkan di sejumlah forum, tak satu pun diterbitkan di jurnal ilmiah.

Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Budi Wiweko, menilai bahwa langkah Kemenkes mengirimkan surat sudah tepat. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk menjamin hak setiap pasien untuk mendapatkan pengobatan yang aman.

Wiweko mengatakan bahwa dirinya mendukung penuh riset dan inovasi dalam bidang kedokteran. Namun menurutnya, riset dan inovasi harus dilakukan dengan cara yang benar dan beretika. "Ini bukan mempersulit tetapi menjamin keamanan," katanya.

Untuk sampai pada tahap mengujicobakan terapi tertentu pada manusia seperti yang dilakukan Warsito, hasil uji secara jaringan (in vitro) dan tubuh (in vivo) pada fase hewan harus disetujui terlebih dahulu oleh komite riset kedokteran. Riset juga mesti melibatkan berbagai pihak untuk menjamin obyektivitas.

Riset dengan cara yang tepat justru pada akhirnya malah berpotensi menghantarkan teknologi ECCT menjadi terapi kanker yang ampuh. "Kalau tidak teruji ilmiah malah akan hanya menjadi pengobatan alternatif," kata Wiweko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com