Dalam kunjungan ke CTECH Labs Edwar Technology di Alam Sutera, Serpong, Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, "Riset Pak Warsito jangan dimatikan, tetapi harus didampingi. Ini karya anak bangsa."
Teknologi dan kontroversi
Warsito Taruno, peraih BJ Habibie Tecchnology Awards dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengembangkan alat terapi antikanker sejak awal tahun 2000.
Doktor lulusan Shizouka University itu mengembangkan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electrical Capacitance Cancer Theraphy (ECCT). Kedua teknologi berperan membantu memindai dan menyembuhkan kanker.
Wujud temuan yang dikatakan bermanfaat bagi publik adalah rompi dan helm antikanker. Penderita kanker bisa mengenakan rompi dan helm. Kanker pun bisa dibasmi.
Dia menunjukkan berita di Popular Science tentang "Cyber Physical System" yang salah satu wujudnya adalah pemindai tubuh yang terhubung dengan internet dan mampu mendeteksi penyakit secara cepat.
Teknologi itu adalah revolusi teknologi keempat di dunia sejak masa revolusi industri. Ia mengatakan, Indonesia patut bangga karena mulai mengembangkannya.
"Kita ready untuk the fourth industrial revolution. Kita berada pada forefront perkembangan teknologi dunia. Teknologi kami bisa tangkap kanker payudara dalam satu hingga dua detik," kata Warsito.
Namun, sambutan dari kalangan medis pada temuan yang konon sudah dimanfaatkan Jepang dan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) ini tak manis. Banyak dokter mempertanyakan keampuhan teknologi Warsito.
Para dokter mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah benar alat Warsito efektif? Mana buktinya? Kok tidak ada publikasinya di jurnal ilmiah? Keefektifan itu klaim atau sungguhan?
Pahit yang dialami dokter adalah menjumpai pasien kanker yang ditanganinya justru memburuk setelah memakai alat buatan Warsito.
Kondisi bukan memburuk karena alat Warsito. Namun, kepercayaan pada alat terapi Warsito yang dianggap belum terbukti secara ilmiah membuat pasien meninggalkan pengobatan medis.