Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejayaan Rempah Indonesia Menyusut

Kompas.com - 13/10/2015, 15:00 WIB
KOMPAS.com — Rempah-rempah "berkelindan" dengan sejarah Indonesia. Rempah tidak hanya menjadi komoditas perdagangan, tetapi juga akar terbentuknya peradaban, negara, bahkan teknologi keilmuan baru. Kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya mampu berjaya dalam waktu lama karena mampu mengelola kekayaan, termasuk rempah-rempah.

Sejarawan JJ Rizal, saat menjadi pembicara pada diskusi bertema "Jalur Rempah dan Perdagangannya di Indonesia", Senin (12/10/2015), di Jakarta, mengatakan, sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, bahkan sampai agama Islam masuk ke Indonesia, rempah-rempah menjadi komoditas paling diincar oleh banyak negara dan kerajaan.

Sejarah rempah dalam perspektif Indonesia akan diangkat dalam kegiatan Museum Week 2015 yang diselenggarakan Yayasan Museum Indonesia pada 18 hingga 25 Oktober 2015 di Museum Nasional Jakarta.

Begitu berharganya komoditas itu, beberapa negara mencoba menghapus jejak sejarah rempah di Nusantara. Jalur Sutra menjadi nama yang sohor untuk jalur para pedagang yang menyelenggarakan hubungan antara negeri Barat dan Timur. Padahal, sutra hanya salah satu komoditas yang diperdagangkan di sepanjang jalur itu. Komoditas utama dan yang banyak diperdagangkan justru rempah-rempah, tepatnya ada 188 jenis rempah. Jalur itu sebenarnya lebih tepat disebut jalur rempah.

Rempah yang diangkut dari Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti kemudian dijual kembali ke Eropa, Persia, Arab, bahkan Mesir. Pedagang Tiongkok tidak pernah mengambil rempah langsung dari Maluku karena mereka hanya berhenti di Malaka dan Manila.

"Kita ingin mengembalikan cara pandang jernih terhadap sejarah. Dalam masa yang panjang kita berperan besar dalam perubahan peta dunia. Pencarian rempah berdampak pada perubahan paling besar di dunia," kata JJ Rizal.

Namun, sampai kini, sebutan "Jalur Rempah" itu kurang mendapatkan apresiasi. "Indonesia seakan menjadi penonton sejarah. Padahal, dengan kekayaan itu, seharusnya Indonesia berada pada posisi pemegang kendali arus sejarah dunia," ucapnya.

Keberadaan rempah juga tercatat di Al Quran yang menyebutkan khasiat kapur barus. Sampai proses pembalseman jenazah raja Mesir menggunakan kapur barus sebagai pengawet dan cengkeh sebagai pemanasnya.

Antropolog Universitas Indonesia, Rusmin Tumanggor, menerangkan lebih dalam tentang kapur dari Barus oleh masyarakat adat di Indonesia sejak sebelum Masehi. Telah ditemukan mantra yang menggunakan berbagai jenis bahasa, di antaranya Sanskerta dan Ibrani, yang mendukung pengobatan penyakit dengan memanfaatkan kapur barus.

Berkurang

Rusmin menyebutkan, setidaknya ada 300 spesies tumbuhan obat di Barus. Semuanya dapat digunakan oleh para datuk untuk menyembuhkan 118 penyakit. Namun, seiring zaman, keberadaan tanaman itu mulai berkurang karena tidak ada usaha pembudidayaan. "Kini sejumlah tanaman rempah di Barus menyusut," ucapnya.

Direktur Eksekutif Yayasan Kebun Raya Indonesia Didiek S Hargono mengatakan, posisi Indonesia di khatulistiwa memberi dampak istimewa. Indonesia memiliki varietas tanaman terbanyak di dunia setelah Brasil. Ada 20.000 jenis tanaman obat dengan banyak varietas, bahkan ada 200 jenis rempah berharga.

Kini, karena pengelolaan yang kurang baik, sejumlah varietas hilang atau hampir punah. Tak jarang, pemerintah harus impor rempah. Saat ini, India menjadi penghasil rempah terbesar di dunia. Jangan sampai Indonesia yang dulu kaya rempah akhirnya menjadi pengimpor rempah karena tidak dapat mengelola kekayaannya," ucap Didiek. (B12)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com