Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Normalisasi Jadi Solusi Banjir

Kompas.com - 21/09/2015, 15:23 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Banjir tiap tahun mengusik Jakarta. Kerugian ekonomi akibat banjir pernah menembus Rp 5 triliun dan berdampak terhadap daerah lain di Indonesia. Setelah tertunda lebih dari 40 tahun, normalisasi Ciliwung jadi momentum untuk menata Ibu Kota agar setara kota lainnya di dunia.

Menurut pantauan dua pekan terakhir, luapan Ciliwung merupakan salah satu faktor terbesar setiap kali banjir melanda Jakarta pada musim hujan. Pada sisi lain, normalisasi Ciliwung tidak semata mengendalikan banjir, tetapi juga mengurai karut-marut hunian dan gelapnya penguasaan lahan di Jakarta yang selama puluhan tahun dibiarkan.

Normalisasi yang sedang berjalan itu meliputi pekerjaan memperlebar kali, memperdalam kali, dan memperkuat dindingnya dengan beton, serta menambah jalan inspeksi. Hanya di kawasan bantaran yang masih hijau, seperti di kawasan Condet, Jakarta Timur, dinding Ciliwung diperkuat secara alami, dengan banyaknya pepohonan.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, penertiban hunian di bantaran kali merupakan langkah tak terelakkan untuk normalisasi Ciliwung. Proyek fisik normalisasi dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Namun, tanggung jawab pembebasan lahan, termasuk merelokasi warga bantaran, ada di tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara, ada pembagian tanggung jawab antara pemerintah daerah dan pusat dalam hal pengadaan tempat untuk relokasi warga bantaran.

"Yang terpenting bagi saya, warga di pinggiran Ciliwung tidak lagi kebanjiran. Saya hanya ingin mengembalikan sungai seperti semula," katanya.

Menyempit

 Ciliwung, khususnya, di bagian hilir yang mengaliri Jakarta, kini menyempit parah. Lebarnya 20 meter-30 meter mengerucut menjadi kurang dari 6 meter. Air sungai ini menghitam, penuh sampah, dan alirannya lebih mirip comberan raksasa.

Di bantaran Ciliwung, dari kawasan Jalan TB Simatupang hingga Pintu Air Manggarai sepanjang 19 kilometer yang melewati wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, sebagian besar menjadi permukiman padat penduduk.

Warga yang mengokupasi bantaran itu, antara lain, dapat dilihat di Bidara Cina, Jakarta Selatan. Bidara Cina disesaki rumah-rumah berukuran kecil, bisa hanya 3 meter x 3 meter, semipermanen, tetapi bisa bertingkat dua hingga tiga.

Sepanjang 19 kilometer bantaran Ciliwung tersebut menjadi sasaran normalisasi. Namun, hingga kini, proses normalisasi baru mencapai 4 kilometer, yaitu di bantaran yang relatif kosong dari hunian.

Normalisasi di kawasan bantaran padat penduduk baru pertama kali dilakukan di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, 20 Agustus lalu.

Penertiban di Kampung Pulo itu menggusur 900 keluarga dan menjadi langkah yang sudah lama ditunggu-tunggu demi membebaskan sungai terbesar dari 13 sungai yang mengaliri Jakarta itu dari masalahnya. Namun, hingga kini, proses relokasi tersebut menuai protes karena dianggap mengulang pola penggusuran masa Orde Baru yang menggunakan kekuasaan.

Yang berbeda, penggusuran Kampung Pulo diikuti relokasi warga ke rumah susun, sebuah pola penataan kota yang mulai dijalankan sejak pemerintahan Jakarta dikendalikan Joko Widodo pada 2013. Sebanyak 530 keluarga dari 900 keluarga direlokasi ke Rumah Susun Sederhana Sewa Jatinegara Barat. Selebihnya adalah warga penyewa atau pengontrak rumah yang tak punya hak saat relokasi.

Bebas bangunan

Banjir besar pada 2007 di Jakarta menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 5,7 triliun. Nilai kerugian banjir selama dua hari pada Februari 2015 pun, berdasarkan perhitungan Kamar Dagang dan Industri Jakarta, mencapai Rp 1,5 triliun (Kompas, 11/2/2015). Untuk menangani pengungsi banjir, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI mengeluarkan biaya Rp 50 miliar per tahun.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mudjiadi mengungkapkan, rencana normalisasi Ciliwung sesungguhnya sudah ada sejak lebih dari 40 tahun silam, tetapi terus terbengkalai.

Sejak penanganan banjir dirancang pertama kali pada 1973, termasuk pembangunan Kanal Timur, pelaksanaan normalisasi Ciliwung tak pernah tuntas. Sejak itu, rencana induk normalisasi Ciliwung sudah tiga kali direvisi.

Guru Besar Hidrologi Institut Pertanian Bogor Hidayat Pawitan menyampaikan, dengan perkembangan permukiman Jabodetabek, telah terjadi peningkatan limpasan air permukaan. Peningkatan aliran sungai ini dari sekitar 300 meter kubik per detik pada 1970 menjadi 600 meter kubik per detik pada 2000. Aliran sungai akan menggerus alur sungai horizontal dan vertikal.

 Merelokasi warga ini menjadi beban terberat pemerintah dalam normalisasi Ciliwung. "Dalam hal ini, kemauan politik serta konsistensi pemerintah kota dan pusat sangat menentukan berhasilnya relokasi juga kelancaran pelaksanaan proyek. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut-larut, makin bertambah masalahnya," katanya.

Lea Jellinek, antropolog Australia, peneliti penggusuran Kebon Kacang, Jakarta Pusat, pada 1980, dalam bukunya, Seperti Roda Berputar, terbitan LP3ES, menjelaskan, beban penataan kota Jakarta sangat besar. Sebab, Jakarta menjadi pusat pembangunan nasional, magnet urbanisasi.

Bertahun-tahun bantaran kali dan area publik di Jakarta diokupasi warga urban yang tak mampu membeli rumah legal di dalam kota. Pada saat yang sama, dalam arena politik tata ruang, kota ini juga dikuasai pemilik modal.

Mudjiadi pun mengatakan, ada beberapa area parkir air untuk memperlambat laju air berubah fungsi sebagai mal. Hal ini antara lain ditemukan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan menyampaikan, sudah saatnya kini semua pembiaran yang terjadi di Jakarta disudahi dan Jakarta harus mulai ditata. "Relokasi warga Kampung Pulo adalah pintu masuk mengatasi banjir dan penataan kota Jakarta," katanya. (FRO/BRO/DNA/MDN)

------------

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas, edisi 21 September 2015, dengan judul "Normalisasi Jadi Solusi Banjir".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com