Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Sebaskom Air Garam Bisa Mendatangkan Hujan dan Mengusir Asap?

Kompas.com - 12/09/2015, 15:38 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

KOMPAS.com — Musim kemarau yang berkepanjangan dan kabut asap dari kebakaran hutan membuat masyarakat semakin resah. Berbagai upaya dilakukan agar hujan turun menghilangkan asap.

Di samping doa bersama, salah satu upaya yang dilakukan untuk membuat hujan adalah berupa ajakan lewat pesan berantai di Blackberry Messenger dan media sosial lain untuk menyediakan baskom berisi campuran air dan garam.

"Sediakan baskom air yang dicampur garam dan letakkan di luar rumah, biarkan menguap. Waktu penguapan air yang baik adalah pukul 11.00-13.00. Dengan makin banyak uap air di udara, hal itu semakin mempercepat kondensasi menjadi butir air pada suhu yang makin dingin di udara," demikian bunyi pesan berantai yang juga diterima Kompas.com.

Pesan berantai itu juga berisi penjelasan secara singkat mengenai proses terjadinya hujan melalui rekayasa sederhana tersebut.

"Dengan cara sederhana ini, hujan diharapkan makin cepat turun. Semakin banyak warga melakukan ini di tiap-tiap rumah, (jika dilakukan oleh) ratusan ribuan, maka akan menciptakan jutaan kubik uap air di udara," demikian lanjutan dari pesan itu. "Mari kita sama-sama berusaha untuk menghadapi kabut asap yang makin parah."

Menyikapi ajakan pesan berantai tersebut, Peneliti Meteorologi Tropis BPPT Dr Tri Handoko Seto mengungkapkan, dari sisi partisipasi masyarakat, dia merasa senang terhadap adanya aksi itu. Hal tersebut menunjukkan kepedulian tinggi masyarakat terhadap bencana asap yang sedang terjadi.

Walau demikian, dari sisi teknis, hal ini sangat jauh panggang dari api. Satu ember air tiap rumah, dan bila ratusan ribu orang dari tiap rumah melakukannya maka akan ada jutaan meter kubik uap air, hal itu tidaklah mungkin.  

"Dengan asumsi satu ember sama dengan 10 liter air, maka total air yang hendak diuapkan hanya ribuan meter kubik. Diperlukan ratusan juta ember untuk mendapatkan jutaan meter kubik. Itu pun jika air yang ditempatkan di ember menguap semua. Ini dipastikan tidak akan mungkin," kata Tri Handoko, Sabtu (12/9/2015).

Menurut dia, proses terjadinya hujan bukan merupakan mekanisme mikro seperti yang disampaikan dalam pesan berantai tersebut. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi agar hujan terjadi. Selain penguapan yang besar, perlu pola angin tertentu sehingga uap air bisa terkondensasi di suatu wilayah.

"Tentu saja ini terkait dengan kondisi cuaca skala luas. Keberadaan gunung bisa saja mengakibatkan terbentuknya awan, tetapi untuk menjadi hujan, perlu juga lingkungan yang mendukung," papar Tri Handoko.

Pada saat ini, dia menambahkan, air laut di sekitar Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau tetap menguapkan airnya. Namun, pola angin mengakibatkan uap air tertarik ke utara dan timur laut sehingga awan terbentuk di wilayah utara.

"Akan tetapi, memang, selalu saja ada peluang perubahan pola angin pada skala yang lebih kecil yang memungkinkan terbentuknya awan. Tim BPPT telah siaga untuk menyemai awan yang mungkin tumbuh agar bisa menjadi hujan," kata Tri Handoko.

Untuk itu, Tri melanjutkan, masyarakat diharapkan punya partisipasi yang lebih mendukung. Yang paling penting untuk saat ini adalah jangan membakar hutan dan lahan. Pembakaran kecil bisa menjadi besar dan tidak terkendali.

"Laporkan jika mendapati ada orang yang membakar hutan dan atau lahan. Kalau perlu, bergabung dan aktiflah dalam gerakan-gerakan pemadaman kebakaran hutan dan lahan," kata Tri Handoko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com