Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabut Asap Berkepanjangan, Negara Tidak Lindungi Kesehatan Masyarakat

Kompas.com - 07/09/2015, 19:01 WIB
KOMPAS.com - Beberapa pekan terakhir, 25 juta warga di Sumatera dan Kalimantan terpapar asap akibat terbakarnya hutan dan lahan. Meski kesehatan, kualitas hidup, dan produktivitas penduduk terancam, kejadian berulang. Hak warga atas lingkungan yang sehat tak dilindungi negara.

"Berulangnya bencana asap tiap tahun menunjukkan negara tidak hadir melindungi kesehatan warganya," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Adang Bachtiar di Jakarta, Minggu (6/9/2015). Padahal, Pasal 6 UU No 36/2009 tentang Kesehatan menjamin hak setiap orang atas lingkungan sehat.

Jumlah penduduk terpapar asap, menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, bisa lebih banyak. Jumlah 25,6 juta warga terpapar itu berdasarkan sebaran asap, Kamis (3/9/2015). Padahal, sebaran asap sering berubah, khususnya di Kalimantan.

Dokter konsultan paru yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kabut asap ancaman serius semua orang, sehat atau sakit. "Mereka yang punya gangguan paru dan jantung serta anak-anak dan penduduk lanjut usia lebih mudah mengalami gangguan akibat asap," ujarnya.

Asap bisa mengiritasi selaput lendir di hidung, mulut, dan tenggorokan, menimbulkan radang dan memunculkan reaksi alergi. Asap kebakaran juga menimbulkan infeksi, mulai infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga pneumonia. Asap memperburuk kondisi penderita asma dan penyakit paru kronis, seperti bronkitis atau paru obstruktif kronik.

Secara tak langsung, asap menurunkan daya tahan tubuh dan meningkatkan stres sehingga ISPA lebih mudah terjadi. Kondisi penderita penyakit kronik organ tubuh lain, seperti jantung, hati, dan ginjal, bisa memburuk. "Polutan asap yang jatuh ke air atau makanan dan dikonsumsi masyarakat bisa mengganggu saluran cerna," kata Tjandra.

Selain partikel kayu terbakar, kata Adang, asap juga mengandung senyawa hidrokarbon, benzena, dioksin, dan formaldehida pemicu kanker. "Masker yang dibagi tak mampu menahan partikel lebih kecil dari 2,5 mikrometer sehingga partikel bisa masuk aliran darah dan mengganggu sistem paru-jantung," katanya.

Penanganan

Meski terjadi hampir tiap tahun, Adang menyayangkan reaksi pemerintah, khususnya di sektor kesehatan. Kemenkes dan dinas kesehatan seharusnya bersuara lantang dan mendorong sinergi antarlembaga menghentikan kebakaran hutan karena asap membahayakan kesehatan serta produktivitas manusia dan ekonomi di wilayah terdampak.

Masalahnya, Kemenkes dan dinkes masih lemah membangun kesadaran pentingnya kesehatan masyarakat. Data dampak bencana asap terhadap kesehatan juga kurang sehingga mereka tak mampu meyakinkan lembaga lain dan masyarakat bahayanya dampak asap kebakaran. "Program mitigasi dan adaptasi kebakaran asap juga tak memadai meski Kemenkes punya strategi intervensi kesehatan berbasis risiko," kata Adang.

Mitigasi bisa bersama lembaga lain mencegah kebakaran hutan dan ladang, baik yang dikelola masyarakat maupun perusahaan, serta penegakan hukum tegas. Adapun adaptasi selama ini, seperti meliburkan sekolah dan membagikan masker, perlu lebih progresif dan masif dilakukan. Jika perlu, memindahkan penduduk ke daerah sehat.

"Penanganan dampak asap selalu reaktif karena upaya kesehatan masyarakat belum lengkap, mulai promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif, dan tak terpadu," katanya. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com