Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tangisan Bumi, Tangisan Kita

Kompas.com - 30/07/2015, 04:49 WIB

KOMPAS - Juni 2015, Paus Fransiskus menjadi Paus kelima yang mengingatkan umat manusia agar merawat bumi. Dalam ensiklik Laudato Si (Terpujilah)- On Care for Our Common Home (Merawat Rumah Bersama), Paus menuliskan, "Iklim adalah barang publik, milik publik, dan amat berarti bagi publik."

Paus membuka bait-bait ensiklik (semacam surat edaran) dengan mengutip syair doa Santo Fransiskus dari Asisi, "Laudato Si' (Mi' Signore), Terpujilah Engkau ya Tuhan". Karya pada abad ke-13 itu mengingatkan kita, rumah bersama itu adalah bak saudara perempuan kita, kita berbagi kehidupan dengannya. Bak ibu yang jelita, yang membuka tangannya untuk merengkuh kita.

"Terpujilah Engkau Tuhan, melalui saudara perempuan kami, ibu Bumi, yang terus bertahan dan memimpin kami, yang menghasilkan beragam buah-buahan dengan bunga dan rempah beraneka warna."

Menyongsong Konferensi Perubahan Iklim PBB, Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 di Paris, November-Desember 2015, ia menggarisbawahi keniscayaan saling ketergantungan antarnegara. Kondisi tersebut, tulisnya, harus menjadi landasan berpikir, "Satu dunia dengan rencana bersama".

Tak berhenti pada ensiklik, Paus menyelenggarakan konferensi para wali kota dan gubernur kota-kota besar dunia. Deklarasi dari konferensi itu menyerukan, "Para pemimpin harus mencapai kesepakatan yang kuat untuk membatasi pemanasan global sampai batas aman untuk kemanusiaan, sekaligus melindungi yang miskin dan mereka yang rentan."

Selain itu, negara kaya juga harus membantu pendanaan mitigasi perubahan iklim negara-negara berpenghasilan rendah. Untuk kelompok skeptis, deklarasi itu memuat "Perubahan iklim akibat ulah manusia adalah realitas ilmu pengetahuan, dan kendali yang efektif adalah kewajiban moral terhadap kemanusiaan".

Alam dan agama

Pandangan agama tentang alam mengerucut pada sikap serupa: manusia adalah bagian dari alam, alam adalah subyek, ada sinergitas antara Tuhan, alam, dan manusia, dan banyak lagi. Namun, fakta saat ini: manusia mengeksploitasi alam untuk memenuhi keserakahannya.

Pada saat perilaku manusia itu telah berdampak, antara lain berupa fenomena perubahan iklim, maka pendekatan politik, saintifik, dan ekonomi tak lagi memadai.

Dalam sebuah diskusi "Keberpihakan Agama dalam Isu Perubahan Iklim" awal bulan ini, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, yang lama terlibat dalam meja negosiasi global, mengungkapkan, pendekatan politik hanya menghasilkan usulan cara-cara terbaik mengatasi perubahan iklim. Namun, hanya baik untuk negara masing-masing.

"Semoga petunjuk dari mereka yang berlandaskan agama bisa membantu hingga perundingan bisa berhasil dalam COP nanti. Kita saling mengilhami dan saling belajar," ujar Rachmat. Ia berharap para pemimpin agama mampu memengaruhi hati nurani umatnya agar ada hasil yang berbeda dalam perundingan di tingkat global.

Selain Rachmat, hadir untuk berbagi pandangan adalah Nadjamuddin Ramly, Koordinator Bidang Kebijakan Publik Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, PC Suswiantoko Pr dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Abdul Halim Sani Abdul Halim Sani Technical Advisor Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC), Victor Rembeth dari Thamrin School Reader on Environmental Ethics and Philosophy, dan Pendeta Gomar Gultom, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Gomar Gultom menyatakan, PGI telah menyatakan bahwa keserakahan manusia merupakan akar dari kerusakan lingkungan.

Dalam Islam, menurut Abdul Halim, menjaga kelestarian alam mengandung tiga unsur, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. "Ketiganya harus sinergis. Namun, manusia sering kali melihat alam sebagai obyek, bukan subyek sehingga manusia mengeksploitasi (alam) karena obyek tidak berkesadaran. Kita tidak memahami bahasa alam," katanya.

Victor Rembeth mengatakan, "Seharusnya ada spiritualitas ekologi dan diupayakan ada kebersamaan, dan ada dokumen yang bisa berubah sebagai kesepakatan yang masuk dalam agama dan umat masing-masing, yang bisa masuk sebagai aksi bersama untuk perubahan iklim di Indonesia."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com