Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Panas Menyengat di India, Apa Sebabnya?

Kompas.com - 29/05/2015, 20:06 WIB

KOMPAS.com - Gelombang udara panas di India sejak sepekan lalu hingga Rabu (27/5/2015) menewaskan lebih dari 1.000 orang. Cuaca ekstrem itu masih akan mengancam hingga akhir Mei 2015. Namun, gangguan cuaca di Asia Selatan itu tak berpengaruh bagi Indonesia.

BBC pada Rabu melaporkan bahwa gelombang panas tersebut menewaskan 1.118 korban jiwa di India. Tercatat suhu udara di beberapa wilayah di negeri itu sudah mendekati 50 derajat celsius. Sebagian besar korban meninggal tercatat di Negara Bagian Telangana dan Andhra Pradesh, di selatan India.

Baca juga: Bagaimana Suhu Tinggi Sebabkan Dehidrasi yang Mematikan?

Di kota-kota yang dilanda gelombang panas, warga memborong buah-buahan seperti semangka atau memadati pusat-pusat perbelanjaan berpendingin udara. Sumber air dan pancuran air dipadati pengunjung. Bahkan, ada foto yang menampilkan garis penyeberang jalan (zebra cross) meleleh di aspal.

Kondisi gelombang panas mulai dirasakan di dua negara bagian India tersebut sejak pertengahan April lalu. Namun, kematian penduduk terbanyak terjadi pekan lalu karena peningkatan suhu yang berlebihan.

Temperatur di Andhra Pradesh bahkan mencapai 47 derajat celsius pada Senin (25/5), hingga menelan 852 korban jiwa. Peningkatan suhu itu akan menyebabkan kram, kelelahan, dehidrasi, dan tersengat panas, hingga korban meninggal dunia.

Gelombang panas, yaitu periode terjadinya kenaikan suhu udara di atas normal di India, biasanya terjadi antara bulan Maret dan Juni. Bulan Mei merupakan bulan terpanas di India. Suhu rata-rata maksimum di New Delhi bisa mencapai 41 derajat celsius.

Akibat gelombang panas pada tahun 2002 dan 2003, misalnya, ribuan orang dilaporkan tewas. Pada tahun 2010, sekitar 300 orang meninggal karena suhu panas yang intens. Dalam dua tahun terakhir di ibu kota India, New Delhi, terik panas matahari mencapai suhu maksimum 45,5 derajat celsius.

Gelombang panas itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Edvin Aldrian, dipicu oleh angin panas dari padang pasir Iran dan Afganistan melalui laut Arab. Angin panas tersebut tertahan di Pegunungan Himalaya sehingga bertahan lama di kawasan India. "Blocking udara panas inilah yang menewaskan banyak korban jiwa," ujar Edvin.

Diprediksi, kondisi ekstrem itu akan berakhir ketika angin monsun dari selatan yang membawa banyak awan muncul pada Juni mendatang.

Gelombang Rossby

Cuaca ekstrem ini merupakan dampak dari tertahannya fenomena Gelombang Rossby. Gelombang massa udara di atmosfer ini bergerak melingkar di wilayah kutub hingga subtropis. Pergerakannya ke arah timur tanpa putus bak "ban berjalan". Jika pergerakannya terganggu, akan muncul cuaca ekstrem.

Itulah yang terjadi saat ini di India berupa gelombang panas. Kondisi sebaliknya berupa cuaca dingin yang ekstrem dapat terjadi di belahan bumi lain saat musim dingin, seperti yang terjadi di Eropa pada tahun 2010.

Gelombang dingin saat itu menyebabkan sekitar 400 orang meninggal. Sementara dua tahun kemudian muncul fenomena sama, yaitu kemunculan hujan salju hingga di Afrika Utara, yaitu di Aljazair, Libya, dan Tunisia. Itu terjadi karena suhu di wilayah  tropis sangat tinggi dan  tekanan sangat rendah. Kondisi tersebut membuat tarikan massa udara di kutub  terlalu kuat hingga berdampak turun salju terlalu jauh ke selatan. "Ini kejadian luar biasa," ujar Edvin.

Gelombang panas juga pernah terjadi pada tahun yang sama di Jepang, yang mengakibatkan 66 orang tewas akibat hipertermia dan gangguan otak. Di Tiongkok, sengatan suhu udara hingga 44 derajat celsius.

Gelombang Rossby dinamai sesuai dengan nama penemunya, Carl-Gustaf Rossby, pada tahun 1930-an. Gerakan gelombang itu dipicu dua pusat tekanan udara rendah di Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik. Tepatnya di utara Samudra Atlantik dan perairan sekitar Kuroshio, Jepang, di Pasifik.

Keberadaan dua "motor penggerak" itulah yang membuat gelombang Rossby terus bergerak ke timur dengan pola naik turun, baik secara vertikal maupun horizontal. Apabila pergerakannya terganggu atau terhenti, keseimbangan pola distribusi massa udara itu pun terganggu sehingga menimbulkan cuaca ekstrem di lokasi gelombang tersebut "parkir". Hal itu terjadi karena akumulasi tekanan udara dan massa udara di daerah tersebut.

Kejadian ekstrem berupa gelombang panas dan gelombang dingin berulang setiap tahun, sejak lima tahun terakhir. Menurut Edvin, hal tersebut merupakan dampak dari peningkatan suhu global dan perubahan iklim.

Sementara itu, Kukuh Ribudiyanto, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, menjelaskan, pengaruh gelombang panas tidak akan sampai ke Indonesia. Hal itu karena pola angin timuran sudah berlangsung di Indonesia, yaitu angin bertiup dari timur atau tenggara dari sekitar Australia ke daratan Asia.

Pada saat yang sama, suhu muka laut masih hangat di perairan Indonesia bagian barat sehingga masih ada potensi terbentuk awan hujan.(YUN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com