Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat Isu Beras Plastik, Program Beras Fortifikasi Kena Getahnya

Kompas.com - 27/05/2015, 09:35 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com
- Gara-gara isu beras plastik, beras fortifikasi atau beras yang diperkaya nutrisi ditolak di Karawang, Jawa Barat. Beras itu dianggap sama dengan beras plastik.

Peneliti beras dan pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Slamet Budijanto, melaporkan kasus itu saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (26/5/2015).

"Jadi dampak isu beras plastik ini benar-benar-benar luar biasa, sampai semua dianggap beras plastik," jelas Slamet.

Slamet mengungkapkan, beras fortifikasi sebenarnya adalah beras yang dicampur dengan premix kernel. Premix itu sendiri terbuat dari beras yang dihancurkan dan ditambahkan dengan nutrisi seperti vitamin A, vitamin B, zat besi, dan lainnya.

Dalam kasus beras fortifikasi di Karawang, nutrisi utama yang ingin ditambahkan adalah zat besi. Penambahan zat besi terkait dengan masalah nutrisi bangsa.

"37 persen anak kita kekurangan zat besi. Itu dapat berakibat pada pertumbuhan lambat dan terhambatnya perkembangan kognisi," terang Slamet.

Pemerintah bersama Institut Pertanian Bogor berusaha mengenalkan beras fortifikasi tersebut kepada masyarakat di Karawang.

"Tapi gara-gara beras plastik itu, program beras fortifikasi ditolak," kata Slamet. Premix kernel yang ditambahkan di beras dianggap bahan buatan yang membahayakan.

Slamet menyayangkan penolakan tersebut. Padahal, beras fortifikasi lazim digunakan oleh Filipina dan sejumlah negara di Afrika.

Baru-baru ini, Singapura malah menyatakan sudah memproduksi premix kernel sendiri dan bisa secara mandiri dicampur oleh warga negaranya.

"Sedih sekali saya itu justru ditolak di sini dan dianggap beras plastik," kata Slamet.

Doktor bidang pangan lulusan Jepang itu mengajak masyarakat untuk kritis dalam isu beras plastik. Plastik menurutnya tak mungkin bercampur dengan beras.

Kalau mual dan pusing, jangan langsung menduga bahwa hal itu disebabkan beras plastik. "Sebagian besar masalah sakit setelah makan itu sebenarnya masalah sanitasi " kata Slamet.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com