Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Virus Campak "Jenis Baru" Beredar di Indonesia

Kompas.com - 23/03/2015, 16:10 WIB

KOMPAS.com — Di tengah munculnya banyak virus penyebab penyakit baru semacam SARS dan MERS-Cov, virus penyebab "penyakit lama" masih beredar di Indonesia. Virus campak salah satunya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Eijkman dan Rumah Sakit Umum Daerah Ulin di Banjarmasin menemukan genotif virus campak yang sebelumnya tak pernah dijumpai di Tanah Air.

Edi Hartoyo, dokter di RSUD Ulin, mengirimkan 16 sampel virus campak yang didapatkan di Banjarmasin ke Lembaga Eijkman. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan, 9 di antara 16 sampel yang didapatkan merupakan genotif D8.

"Itu belum pernah didapatkan di Indonesia sebelumnya," kata Ageng Wiyatno, peneliti di Lembaga Eijkman, dalam seminar Dengue and Other Emerging Viruses: Confronting the Threats with New Technologies di Jakarta, Senin (23/3/2015).

Menanggapi hal tersebut, Subangkit, peneliti campak di Badan Litbang Kementerian Kesehatan, mengungkapkan bahwa berdasarkan surveillance yang dilakukan lembaganya, persebaran genotif D8 di Indonesia memang tergolong baru.

Subangkit yang bertanggung jawab pada penelitian di wilayah Sumatera dan Kalimantan mengatakan, genotif D8 baru terdeteksi pada 2014. "Kami temukan di Bandung dan Riau," katanya.

Secara global, terdapat 24 genotif virus campak. Genotif yang beredar di Indonesia mayoritas genotif G2, G3, dan D9. Genotif D8 sendiri saat ini tersebar di wilayah Asia, Eropa, dan Afrika bagian selatan.

Masih tantangan

Meski merupakan penyakit lama dan program vaksinasinya telah dilakukan lewat imunisasi sejak bayi, campak masih menjadi persoalan, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat.

Tahun 2015, Amerika Serikat mengalami outbreak campak. Campak mulai menjangkiti para pengunjung taman hiburan Disney sehingga wabah kali ini kerap disebut "Disney Measles". Diduga, wabah dipicu oleh pengunjung yang tak menjalani vaksinasi campak.

Di Indonesia, campak masih membuat Banjarmasin dinyatakan mengalami kejadian luar biasa (KLB). Edi mengatakan, sepanjang tahun 2014, masih terdapat 34 kasus, tinggi untuk penyakit campak. Hingga Maret tahun 2015, sudah ada 17 kasus.

Edi mengungkapkan, tingginya kasus campak disebabkan oleh masih adanya penolakan pada vaksinasi. "Ada satu desa yang menolak vaksinasi campak. Kasus campak sebagian besar berasal dari sana. Mereka mengatakan, vaksinasi malah bikin sakit," katanya.

Penolakan pada vaksinasi campak mengkhawatirkan. Kasus outbreak di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penolakan satu kelompok bisa menyebabkan dampak besar dalam satu komunitas.

Campak sendiri bila dibiarkan bisa memicu komplikasi. Pneumonia adalah komplikasi paling umum yang dijumpai di Indonesia. Penderita bisa meninggal, bukan oleh campak, melainkan karena komplikasi yang diderita.

Sementara itu, dari sisi sosial, penolakan vaksinasi menjadi pemicu utama kasus campak. Dari sisi biologi, virus terus berkembang dan efektivitas vaksinasi menjadi salah satu isu utama.

Dahulu, vaksinasi campak dipandang hanya perlu dilakukan sekali. Saat ini, vaksinasi campak harus berulang. Anak-anak yang divaksin campak masih berpeluang terjangkit pada usia empat tahun. Pada yang tak menjalani vaksinasi, umur dua tahun sudah bisa terjangkit.

Tantangan itu menjadikan pemetaan virus penting dilakukan. Pengetahuan tentang genotif virus yang beredar, kata Edi, berguna untuk mengetahui asal-usul virus serta mengetahui efektivitas vaksin. Lembaga Eijkman, RSUD Ulin, dan Universitas Lambung Mangkurat menandatangani MoU untuk kerja sama pemetaan virus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com