Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perikanan Berkelanjutan tanpa Sakit Sesaat pada Nelayan

Kompas.com - 12/03/2015, 10:05 WIB

KOMPAS.com - "Dulu sekali melaut bisa dapat 6 - 10 ton ikan, sekarang turun sekali, paling dapat 2 ton," Kadek Yuliastawa, Kepala Operasional PT Damena bercerita betapa perairan Bali semakin miskin ikan.

Berkurangnya stok ikan di perairan sekitar berimbas pada banyak faktor. Nelayan kini harus berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan yang cukup guna diperdagangkan. Kadek menyebut, pelayaran kadang harus ditempuh hingga Sorong dan perbatasan Australia.

Dengan pelayaran lebih jauh, waktu melaut pun lebih lama. Bahan bakar yang dibutuhkan semakin besar. Maka tak mengherankan bila kenaikan harga bahan bakar minyak yang sempat terjadi beberapa waktu lalu benar-benar memukul nelayan.

Gejala semakin sedikitnya hasil tangkapan ikan dan semakin jauhnya jarak yang ditempuh nelayan untuk mendapatkan ikan menunjukkan adanya eksploitasi ikan berlebihan. Sebabnya adalah praktik perikanan tak ramah lingkungan.

Hal itu diakui Kadek. "Dulu banyak sekali orang pakai pukat," katanya. Pukat mulai marak tahun 1980-an. Kadek mengatakan, pukat hingga tahun 1990-an masih dipuja karena efektif menjaring ikan langsung dalam jumlah banyak.

Dengan pukat, segala jenis makhluk laut tertangkap, tak terkecuali ikan-ikan berukuran kecil yang sejatinya penting untuk kelangsungan spesiesnya. "Akhirnya sekarang habis," ungkap Kadek.

Gejala overfishing, yang sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun, akibat praktik perikanan yang tak ramah lingkungan membuat sejumlah kalangan perikanan khawatir. Bukan hanya khawatir dengan masa depan nelayan, tetapi juga ekosistem.

Sejumlah kalangan mulai mempromosikan praktik perikanan berkelanjutan, seperti yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC). Lembaga itu memulai program perikanannya di Indonesia dengan basis di Bali pada tahun 2014 lalu.

Kekhawatiran masuk akal. Satu tempat tereksplotasi berlebihan, nelayan pindah ke tempat lain. Di tempat lain, bila praktik penangkapannya tak diubah, maka sumber daya ikan di tempat itu bisa habis pula.

"Semua tempat bisa habis nanti. Saya tidak tahu nanti dalam 5 - 10 tahun ke depan nelayan lalu masih bisa menangkap ikan atau tidak," kata Peter Mous, Direktur Program Perikanan TNC.

Dalam pertemuan dengan pelaku industri perikanan, pemerintah, dan pegiat konservasi, Kamis (26/2/2015) lalu, TNC mengajak pelaku industri untuk terus mengupayakan perikanan berkelanjutan.

TNC memperkenalkan sistem mudah mengukur ikan tangkapan. Ikan diberi barcode lalu dengan scan dilihat ukurannya. Hasil pengukuran langsung masuk ke pusat data dan bisa disetor ke pihak berwenang.

Pengukuran penting untuk melihat kualitas tangkapan. "Jadi nanti kalau bisa nelayan tidak tangkap lagi ikan yang masih kecil," ujar Peter kepada wartawan di sela-sela pertemuan.

Hal lainnya yang dipromosikan terdengar lebih rumit, yaitu identifikasi spesies. TNC menebar sejumlah spesies ikan di atas meja kemudian meminta para peserta pertemuan untuk mengidentifikasi spesiesnya secara tepat.

Identifikasi itu, kata Peter, penting. Dari sana, ikan tangkapan bisa diberi label jenis, ukuran, dan asal-usulnya. Penangkap ikan bisa menunjukkan bahwa ikan yang didapatkannya merupakan jenis yang boleh ditangkap serta berasal dari wilayah yang jelas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com