Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akankah REDD Plus Mati Seiring Kematian BP REDD Plus?

Kompas.com - 29/01/2015, 20:29 WIB

KOMPAS.com - Kematian Badan pengelola REDD+ lewat peleburan tugas badan tersebut dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2015 menyisakan pertanyaan dan tantangan.

Akankah dengan peleburan maka semangat program REDD+ seperti yang dijalankan BP REDD+ terjaga? Bagaimana pula kesiapan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut tugas barunya?

Merunut ke belakang, BP REDD+ terbentuk berkat kesepakatan Letter of Intent yang ditandatangi Indonesia dengan pemerintah Norwegia yang ditandatangani pada pertemuan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Cancun, tahun 2010.

Kesepakatan itu, walaupun dikategorikan soft law alias tak punya sanksi apabila dilanggar, mewajibkan Indonesia untuk memiliki badan khusus yang menyelenggarakan dan mengawasi program REDD+.

REDD+ sendiri berarti pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, plus pengelolaan hutan berkelanjutan serta peningkatan stok karbon. REDD+ mulai digagas dalam pertemuan UNFCCC di Bali pada tahun 2007.

Perkembangan BP REDD+ dimulai dari embrionya, Satuan Tugas REDD+. Sempat menjadi dua jilid, Satuan Tugas REDD+ akhirnya berevolusi menjadi BP REDD+ dengan Peraturan Presiden nomor 62 tahun 2013.

Baru berumur dua tahun sejak berdiri, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo mengatakan, pihaknya telah melakukan sejumlah terobosan. "Dengan adanya BP REDD+, Indonesia telah re-define REDD+," katanya.

"Tidak hanya mengurusi hutannya saja, tetapi juga biodiversity dan masyarakat adatnya. Indonesia sejajar dan diakui dalam program REDD+. Alangkah bangga Indonesia sampai pada titik terhormat," ungkap Heru.

BP-REDD+ juga mmenginisiasi Memorandum of Understanding (MoU) dengan 8 provinsi terkait pelaksanaan REDD+. Di Riau, BP REDD+ bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk deteksi dini kebakaran hutan dan lahan.

Program yang dilakukan di Kalimantan Tengah lewat MoU pada tahun 2012 berhasil mengurangi deforestasi. Pembabatan hutan berkurang menjadi 60-70 hektar per tahun pada tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi dan tata kelola juga dinyatakan membaik.

Menurut BP REDD+, deforestasi di kabupaten yang tercakup dalam program MoU, yaitu Barito Selatan, Gunung Mas, Kapuas, Katingan, Kotawaringan Timur, Murung Raya, dan Pulang Pisau, lebih rendah dari kabupaten lain.

Namun, dengan beberapa pencapaian dan program yang telah dirancang, BP-REDD+ kini tiba-tiba dilebur. "Ibarat orang mau makan, ini kursinya ditarik," kata Heru dalam pertemuan dengan wartawan pada Rabu (29/1/2015).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengungkapkan bahwa alasan peleburan BP REDD+, dan juga Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), adalah mencegah tumpang tindih organisasi dan tugas.

Meskipun mengatakan bahwa peleburan itu tidak sesuai dengan Letter of Intent yang ditandatangani dengan Norwegia, Heru mengungkapkan bahwa yang terpenting adalah menjaga semangat program REDD+.

Tapi, itu juga yang dipertanyakannya. "Efektifkah reformasi yang dikerjakan sekarang? Kalau efektif, itu bagus. Tapi, bagaimana kita sekarang akan menyikapinya? Tantangannya akan besar," ucap Heru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com