Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguak Tabir Awan

Kompas.com - 10/12/2014, 21:24 WIB

Oleh Brigitta Isworo Laksmi

KOMPAS.com - Cuaca dan manusia. Relasi keduanya demikian kental dan dalam. Cuaca senantiasa hadir. Manusia tak kuasa menolak. Awan gelap atau langit cerah memengaruhi mood. Hujan atau panas terik mengubah perasaan, bahkan kondisi fisik kita. Musim dingin dan musim panas mampu mengubah perilaku manusia.

Seiring perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global, model cuaca kian sering berubah, semakin sering memunculkan bentuknya yang ekstrem: hujan deras disertai angin kencang kian sering, hawa panas ekstrem, udara dingin membeku sering muncul. Bahkan, di wilayah-wilayah tak biasa. Gelombang bencana terkait cuaca ekstrem pun semakin besar. Semua relung dan sudut Bumi tak terkecuali.

Perubahan iklim yang pada beberapa faktor mempercepat proses yang berdampak buruk diperkirakan tak mampu dihambat lagi peningkatannya jika suhu Bumi naik lebih dari 2 derajat celsius. Dua derajat celsius lebih tinggi daripada temperatur sebelum era industri.

Peningkatan suhu diakibatkan tertahannya pemantulan energi panas Matahari oleh lapisan gas rumah kaca hasil aktivitas manusia. Pertanyaannya, bagaimana hasil akhir (neto) pemantulan dan serapan energi panas itu dari berbagai permukaan? Energi panas Matahari dipantulkan dan diserap permukaan air (laut), daratan, dan udara. Penelitian mendalam terus dilakukan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana mekanisme pertukaran panas pada ketiga permukaan tersebut.

Para ahli iklim mengamati rentetan perubahan membingungkan yang berproses di darat, laut, dan udara. Lalu, di mana mereka harus memusatkan perhatian agar mampu mengungkap rahasia perubahan tersebut? Awanlah jawabnya.

Peran awan mempertahankan keseimbangan panas Bumi terus menjadi teka-teki di benak ilmuwan. Lalu, bagaimana sebenarnya peran awan dalam pemanasan global? Peran awan pada perubahan iklim diangkat dalam Scientific American edisi November 2014. Penguapan air laut adalah pemain kunci dalam pola cuaca. Awan sebagai hasil pendinginan uap air berperan penting.

Apakah awan berperan menyerap panas dan meradiasikan kembali ke atmosfer sehingga suhu Bumi meningkat? Atau, merefleksikan gelombang panas kembali ke Matahari sehingga suhu Bumi menurun? Peran mana yang lebih kuat?

Jauh sebelum ilmu meteorologi diakui sebagai ilmu pengetahuan (science), manusia sudah membaca cuaca dari awan di angkasa dalam beragam bentuknya. Dari yang bergulung-gulung hingga yang demikian halus sebagai halo di seputar bulan.

Baru pada 1803, meteorolog paruh waktu, Luke Howard, mengklasifikasikan awan dan menamainya menggunakan bahasa Latin. Howard membedakan berdasarkan ketinggian dan bentuk awan. Ia membaginya menjadi tiga jenis awan, yaitu ”rambut keriting” atau cirrus, ”tumpukan (awan)” atau cumulus, dan ”awan yang menyebar” atau stratus.

Selama ini, pengamatan awan dilakukan menggunakan satelit yang hanya mampu melihat bentuk awan tanpa mampu mengungkap dinamika fisis dan kimia di dalam tubuh awan. Interaksi berlapis yang berlangsung di dalam tubuh awan bagai kabut misteri. Kandungan aerosol (partikel padat) di dalam awan diyakini memengaruhi perilaku awan terhadap beragam radiasi sinar Matahari. Pengaruh setiap jenis aerosol pun berbeda.

Menurut salah satu penulis laporan dari Panel Ahli Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Olivier Boucher, dari Pierre Simon Laplace Institute di Paris, Perancis, pengaruh awan rendah terhadap iklim belum dapat dipastikan. ”Awan rendah adalah kartu liar (wild card),” ujarnya. Sebagai kartu liar, faktor awan rendah dalam sebuah model iklim berpeluang membalikkan hasil. Hasil menjadi tak mudah diprediksi.

Bersemangat memecahkan teka-teki peran awan, September lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membentuk tim peneliti di Arktik. Mereka menggunakan pesawat seperti C-30, membawa radiometer, serta memakai sensor Matahari, panas (thermal), dan gelombang mikro guna merekam pergerakan sinar Matahari dan panas yang menembus awan.

Dengan pesawat dan satelit yang semakin canggih, mampu memotret isi tubuh awan, serta sensor sinar yang mampu menembus dan memindai anatomi dalam tubuh awan, prediksi cuaca akan semakin tajam dan jangka waktunya pun lebih panjang. Bukan tak mungkin, perubahan iklim lantas ”tidak menjadi isu” lagi (?)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Berapa Usia Planet Tertua di Tata Surya?

Berapa Usia Planet Tertua di Tata Surya?

Oh Begitu
Berapa Jumlah Mata Laba-laba?

Berapa Jumlah Mata Laba-laba?

Oh Begitu
Cerita Astronot saat Berjalan di Bulan, Seperti Apa Rasanya?

Cerita Astronot saat Berjalan di Bulan, Seperti Apa Rasanya?

Oh Begitu
Apakah Kucing Bisa Tersenyum?

Apakah Kucing Bisa Tersenyum?

Oh Begitu
Hewan Apa yang Bisa Mengenali Dirinya Sendiri di Cermin?

Hewan Apa yang Bisa Mengenali Dirinya Sendiri di Cermin?

Oh Begitu
3 Manfaat Daging Buah Kelapa untuk Kesehatan

3 Manfaat Daging Buah Kelapa untuk Kesehatan

Oh Begitu
5 Tanda Tubuh Kekurangan Protein yang Perlu Diperhatikan

5 Tanda Tubuh Kekurangan Protein yang Perlu Diperhatikan

Oh Begitu
Ilmuwan Kembangkan Metode Deteksi Kanker Ovarium Lebih Awal

Ilmuwan Kembangkan Metode Deteksi Kanker Ovarium Lebih Awal

Kita
Ilmuwan Temukan Gundukan Rayap Tertua di Bumi

Ilmuwan Temukan Gundukan Rayap Tertua di Bumi

Fenomena
Mengapa Jeruk Terkadang Terasa Pahit?

Mengapa Jeruk Terkadang Terasa Pahit?

Oh Begitu
Ekspedisi Sisi Jauh Bulan Kembali Dilakukan

Ekspedisi Sisi Jauh Bulan Kembali Dilakukan

Fenomena
Minum dari Botol Plastik Bisa Tingkatkan Risiko Diabetes Tipe 2

Minum dari Botol Plastik Bisa Tingkatkan Risiko Diabetes Tipe 2

Kita
5 Hewan yang Hidup Secara Berkelompok

5 Hewan yang Hidup Secara Berkelompok

Oh Begitu
Ahli Temukan Kasus Pertama Down Syndrome pada Neanderthal

Ahli Temukan Kasus Pertama Down Syndrome pada Neanderthal

Fenomena
Seperti Apa Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression?

Seperti Apa Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression?

Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com