Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Anggaran Jadi Menteri Ristek dan Dikti, Apa Kata Peneliti?

Kompas.com - 27/10/2014, 17:47 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menunjuk Muhammad Nasir dari Universitas Diponegoro sebagai Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Nasir menjadi menteri pertama dalam kementerian gabungan riset dan teknologi serta direktorat pendidikan tinggi.

Berbeda dengan menteri sebelumnya, Nasir berlatar belakang pengelolaan anggaran. Dia meraih gelar doktor dalam bidang akuntasi dari University of Science, Malaysia. Di Google Scholar, nama Nasir sulit terlacak, menunjukkan minimnya publikasi.

Ketika Menteri Ristek dan Dikti minim pengalaman riset dan publikasi, apa tanggapan para peneliti? Apakah dunia penelitian yang selama ini menghadapi masalah minim anggaran bakal menjadi lebih baik?

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, menilai bahwa walaupun berlatar belakang pengelolaan anggaran, Nasir memiliki modal untuk menjadi Menteri Riset dan Dikti.

"Info awal yang didapatkan profil Menristek-Dikti adalah pakar anggaran yang punya komitmen pada pengembangan penelitian," kata Thomas saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/10/2014).

Rosichon Ubaidillah, Kepala Museum Zoologi Bogor, juga mengatakan bahwa pada prinsipnya tidak masalah seorang pakar anggaran menduduki jabatan Menteri Ristek dan Dikti. "Asal bisa mengelola ristek dan pendidikan," katanya.

Meski demikian, Thomas mengharapkan agar Nasir dapat mendalami permasalahan dalam dunia penelitian saat ini. "Pak Nasir agar memahami kebutuhan anggarak riset dan teknologi serta pengembangan SDM, lalu memperjuangkan peningkatan anggarannya," kata Thomas.

Sementara Rosichon mengatakan, menteri yang menangani masalah riset perlu memahami pola pendanaan dalam penelitian. Pendanaan riset perlu perencanaan matang dan dalam jangka panjang serta dalam banyak hal tak bisa langsung dinikmati hasilnya.

Contohnya, riset penemuan senyawa obat tidak bisadilakukan dalam jangka pendek. Riset harus dimulai dari eksplorasi, pengembangan, uji klinis hingga produksi massal. Waktu yang diperlukan bisa 10-15 tahun.

"Konsekuensinya kalau ditotal ya dananya besar. Saya khawatir kalau nanti hitung-hitungan lantas bilang kalau mahal beli saja, tidak perlu penelitian," ungkap Rosichon yang merupakan pakar serangga parasitoid.

Menurut Rosichon, jika Nasir adalah pakar di bidang manajemen, maka dia bisa merekrut pembantu kerja yang punya latar belakang riset. Dia juga bisa bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi.

Sebagai program awal, nasir bisa mengumpulkan lembaga riset dan litbang antar-departemen untuk merembug program yang akan dilakukan dalam 5 tahun mendatang dan apa yang akan dihasilkan.

"Itu nanti yang akan jadi prioritas untuk didanai," kata Rosichon. "Undang saja beberapa pakar, mendengar masukan. lalu melanjutkan yang sudah ada. Selain itu jangan lupa perhatian pada basic research," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com