Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minum Air Merkuri di Batanghari

Kompas.com - 02/09/2014, 15:24 WIB

Oleh Irma Tambunan

KOMPAS.com - Kawasan Pasar Bawah jauh berubah dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Perkampungan yang dibelah Sungai Mesumai itu tampak sepi. Tidak terlihat lagi anak-anak bermain di sungai, orang memancing, mandi, atau bersantai di tepian. Air sungai berwarna coklat. Baunya pun tak sedap.

”Siapa yang mau ke sungai kalau airnya keruh begini,” ujar Anggi, pemuda Pasar Bawah, Kabupaten Merangin, Jambi, pekan lalu. Hingga tiga tahun lalu, Sungai Mesumai jernih hingga ke dasarnya. Lalu demam emas mewabah. Di hulu, sekitar 40 kilometer dari Pasar Bawah, pelaku penambangan emas tanpa izin tiap hari mengoperasikan sekitar 100 alat berat. Saban hari pula limbah tambang digelontorkan ke sungai.

Bukan hanya Mesumai, lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas. Limbah berupa lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri.

Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. ”Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif, begitu masuk tak bisa keluar,” ujar pakar ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani.

Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. ”Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti,” ujar Etty lagi. Di Jepang tahun 1950, limbah merkuri dari pabrik pupuk pernah mengakibatkan tragedi Minamata. Sekitar 3.000 warga Teluk Minamata menderita penyakit aneh, mutasi genetika, dan tak tersembuhkan.

Di Kamboja, merkuri dari tambang emas juga dilaporkan mengontaminasi aliran Sungai Mekong sejak 2008. Di Vietnam, masalah yang sama dilaporkan pada 2011/2012. Blacksmith Institute pada 2011 melansir, di 37 titik tambang emas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tetapi belum memasukkan Batanghari, merkuri memapar 907.300 orang di sekitar areal tambang.

Tragedi bisa berulang

Kompas menemukan, tragedi Minamata bisa terulang di Batanghari atau anak-anak sungainya karena wabah demam emas tak terkendali. Di Kabupaten Sarolangun dan Merangin saja, menurut catatan kelompok Gerakan Cinta Desa (G-Cinde), penambangan emas berlangsung di 30 desa. Di Limun, kecamatan di Sarolangun, ada sekitar 400 penambangan liar aktif.

Di Kabupaten Merangin, demam emas tak kalah gawat. Penambangan emas tanpa izin (PETI) meluas ke sawah, kebun, permukiman, bahkan halaman kantor Kecamatan Pangkalan Jambu dan Kepolisian Sektor Tabir Ulu. ”Hampir semua petambang didukung pemodal besar,” kata Eko Waskito, Koordinator G-Cinde. Mereka memakai alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah.

Bayangkan jumlah merkuri yang dibutuhkan. Sebagai pembanding, untuk memurnikan emas dari sekarung ”pasir/batu emas”, dibutuhkan 0,5 kilogram merkuri. Padahal, limbah logam berat itu, lanjut Eko, langsung dibuang ke sungai.

Akhir Juni lalu, Kompas menguji kualitas air sungai itu di sebuah lembaga penguji terakreditasi di Jakarta. Sungai yang diuji meliputi Mesumai dan Merangin (Kabupaten Merangin) serta Tembesi (Sarolangun). Ketiganya memasok bahan baku air minum untuk perusahaan daerah air minum (PDAM) di Jambi.

Kadar merkuri di permukaan Mesumai mencapai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman merkuri 0,001 mg/l, arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l.

Kadar merkuri air permukaan Sungai Tembesi yang menjadi sumber air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake PDAM, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Kadar merkuri dalam sampel saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).

Ketiga sungai itu bermuara di Batanghari. Akibatnya, kualitas air Sungai Batanghari terus memburuk. Penelitian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Jambi, April lalu, di 16 titik menemukan, kategori Batanghari kini tercemar berat (Kelas D), diduga akibat air buangan PETI.

Direktur PDAM Tirta Merangin M Zuhdi mengetahui sumber air baku tercemar limbah PETI. Gara-gara itu, saluran intake di Sungai Mesumai dipindah ke Sungai Batangmerangin. Sungai Batangmerangin dan Tabir, yang menyediakan air untuk lebih dari 50 persen pelanggan (7.500 unit), juga dikhawatirkan tercemar. ”Airnya keruh sejak dua tahun terakhir,” ujarnya.

Untuk menjernihkan air dan membunuh bakteri, Zuhdi menaikkan dosis klorin dan bahan kimia lainnya hingga dua kali lipat. ”Air yang terpapar merkuri tidak bisa dimurnikan dengan cara apa pun,” kata Etty.

Perhitungan memakai formula analisis risiko kesehatan model Albering dkk (1999) menunjukkan, pada konsentrasi merkuri yang diukur Kompas, asupan air minum harian sudah sangat berisiko terhadap kesehatan, seperti pupuk untuk sel kanker. Hanya di Merangin yang risikonya sedikit lebih rendah. Etty menyarankan warga tidak meminum air dari sungai itu.

Peneliti biologi dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengatakan, merkuri terakumulasi pada organisme air, seperti tanaman, moluska, dan ikan. ”Apabila dimakan, semua merkuri di dalamnya berpindah ke tubuh manusia,” ujarnya. Padahal, Batanghari kaya akan ikan yang biasa dikonsumsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com