Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Drone", Terbang di Saat Perang dan Damai

Kompas.com - 11/08/2014, 16:52 WIB


Oleh: M Zaid Wahyudi dan Yuni Ikawati

KOMPAS.com - Setelah gencatan senjata selama tiga hari, konflik di Gaza, Palestina, meletus lagi, Jumat (8/8/2014). Pada invasi tahun ini, militer Israel dikejutkan oleh perlawanan pesawat udara nirawak milik pejuang Hamas. Meskipun serangan itu mudah ditangkis rudal Israel, kemampuan Hamas membuat pesawat tanpa awak itu mengagetkan Israel.

Pesawat nirawak kian banyak dipakai dalam pertempuran, seperti yang dilakukan militer Amerika Serikat untuk menyerang milisi di Afganistan dan Pakistan. Pesawat nirawak dianggap efektif membunuh musuh dengan risiko lebih kecil. Namun, soal etika penggunaannya masih jadi perdebatan karena pengoperasiannya bagai permainan video game dengan korban manusia nyata.

Ahli perancangan pesawat pada Program Studi Aeronautika dan Astronautika Institut Teknologi Bandung, Taufiq Mulyanto, Rabu (23/7), mengatakan, drone, istilah umum pesawat nirawak, sejatinya adalah bentuk sederhana dan cikal bakal pesawat nirawak (unmanned aerial vehicle) saat ini.

Bentuk drone yang mulai berkembang tahun 1950-1960 amat sederhana, berupa pesawat mainan yang dikendalikan jarak jauh (remote control). Kini, sistem drone jauh lebih canggih dan kompleks sehingga lebih pas disebut pesawat nirawak. Bahkan, kini ada pesawat nirawak yang mampu terbang 30-36 jam non-stop, sedangkan pesawat terbang komersial hanya bisa terbang belasan jam.

Chris Cole dalam Drone Wars Briefing, 2012, menyebut Amerika Serikat dan Israel sebagai negara pertama yang menguji pemakaian drone untuk kepentingan militer, mengintai, dan menyerang sasaran terfokus pada 1960-1970. Sejak itu, semua negara berlomba mengembangkan pesawat nirawak.

Penggunaan pesawat nirawak pun lebih beragam, tak melulu untuk perang. Kini, pesawat nirawak jamak dipakai bagi pemetaan wilayah, pengawasan daerah perbatasan, atau pengukuran kawasan hutan. Bentuknya lebih bervariasi, menyesuaikan fungsi dan alat yang dibawa.

"Pesawat nirawak untuk kepentingan militer dan sipil bisa menggantikan fungsi penerbangan berawak yang dianggap berisiko atau sulit untuk mengamati obyek tertentu di Bumi dari udara," kata Taufiq.

Oleh karena itu, pesawat nirawak cocok menggantikan penerbangan berawak yang membosankan (dull) seperti terbang berjam-jam mengawasi obyek tertentu, penerbangan di daerah ”kotor” (dirty) semisal kawasan beradiasi tinggi, dan penerbangan di daerah berbahaya (dangerous) seperti di wilayah perang.

Di Indonesia, pesawat nirawak digunakan untuk pemetaan wilayah, perkebunan kelapa sawit, ataupun pertambangan. Untuk keperluan itu, pemakaiannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan satelit karena pengambilan citra bisa setiap saat dan berulang, tak tergantung jalur orbit satelit.

Kepala Program Pengembangan Pesawat Terbang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Agus Ariwibowo menambahkan, kemampuan pesawat nirawak terbang rendah membuat citra yang diambil punya resolusi lebih tinggi daripada citra yang diambil satelit.

Pesawat nirawak bisa terbang di bawah awan pada ketinggian kurang dari 150 meter atau setinggi 12 kilometer, di atas ketinggian terbang pesawat komersial. Karena mampu terbang di bawah awan, citra bisa diambil kapan pun tanpa terganggu tutupan awan yang jadi kendala utama selama ini.

Beberapa pesawat nirawak juga bisa dikendalikan bersama untuk mengawasi obyek sama. Cara itu jauh lebih efektif dan murah daripada pengawasan dengan pesawat berawak.

Desain

Sebagai wahana tak berawak, pesawat nirawak dikendalikan orang di luar wahana. Untuk itu, pesawat dilengkapi sistem pengendalian dan navigasi yang akan menggantikan fungsi pilot.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com