Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Merapi Hujan Abu tetapi Statusnya Tetap Normal?

Kompas.com - 28/03/2014, 06:28 WIB
Ahmad Arif

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Kamis (27/3/2014), mengembuskan asap tebal dan menyemburkan abu. Hujan pasir dan kerikil pun terjadi di beberapa bagian wilayah Kabupaten Sleman dan Klaten. Namun, mengapa status aktivitas gunung ini tetap dinyatakan Normal?

“Memang terjadi embusan asap diikuti semburan abu di Merapi. Belum ada aktivitas lanjut dan statusnya masih Normal,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, saat dihubungi Kompas, Kamis. Aktivitas lanjut yang tak terjadi sebagaimana dimaksudkan Surono adalah peningkatan kegempaan maupun deformasi.

Meski demikian, Surono mengatakan telah menginstruksikan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) di Yogyakarta dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi untuk melakukan pemantauan rinci. "Demi menjaga keselamatan dan ketenangan masyarakat sekitar (Gunung Merapi)," kata dia.

Kepala Seksi Merapi BPPTKKG, Sri Sumarti, mengatakan, masyarakat tidak perlu panik dengan kejadian ini. “Kami tetap pantau terus. Beberapa kali memang terjadi erupsi freatik dan embusan asap cukup kuat, tetapi tidak diikuti peningkatan kegempaan dan deformasi tubuh gunung. Berarti itu masih Normal,” papar dia.

Perubahan setelah letusan 2010

Menurut kronologi yang disusun BPPTKG Yogyakarta, pada 24 Maret 2014 terekam gempa vulkanik berkedalaman 4 kilometer dari puncak dengan amplitudo 40 milimeter. Pada Kamis, sekitar pukul 01.16 WIB dan 03.52 terekam gempa tektonik. Lalu, embusan asap terekam selama empat menit, yaitu dari pukul 13.12 – 13.16 WIB.

Sekitar 15 menit kemudian, tepatnya pukul 13.32 WIB, terjadi hujan abu pasir dan kerikil di beberapa desa sekitar Merapi, seperti di Glagaharjo, Kendalsari, Argomulyo, Deles, dan Balarente. Sebagian desa itu ada di wilayah Sleman dan lainnya Klaten. Suara gemuruh dan kaca bergetar juga terjadi di beberapa desa.

Menurut Sumarti, Gunung Merapi tetap punya dua tipe erupsi, yaitu efusif dan eksplosif. Namun, letusan pada 2010 memang cukup besar sehingga membuat sistem di Merapi berbeda, salah satunya dengan kerap terjadinya letusan freatik. Embusan asap kerap terjadi akibat erupsi freatik yang dipicu merembesnya air hujan dari puncak kawah.

Letusan freatik Merapi cenderung tidak merusak karena material yang dominan dikeluarkan berupa abu vulkanik, pasir, serta batuan kecil. Untuk pasir dan batu kecil tidak akan jauh lontarannya, tetapi abu dapat diterbangkan angin hingga jauh.

Karena itu, berdasarkan analisisis terbaru BPPTKG yang disampaikan di laman resmi Badan Geologi, disimpulkan bahwa status Gunung Merapi tetap Normal. Namun, kegiatan pendakian Gunung Merapi disarankan hanya sampai di Pasarbubar, di ketinggian sekitar 2.500 meter di atas permukaan laut. Saran tersebut bertujuan menghindari risiko terdampak embusan gas, abu vulkanik, dan letusan freatik yang bisa terjadi setiap saat.

Sebelum letusan pada 2010, Gunung Merapi relatif jarang mengeluarkan embusan asap dan abu saat kondisi Normal. Letusan pada 2010 merupakan salah satu yang terbesar yang tercatat dalam sejarah gunung ini, menewaskan ratusan orang, termasuk juru kuncinya, Mbah Maridjan.

Namun, sebelum 1990-an, kawah Merapi juga terbuka hingga sedalam 100 meter, dan mengalami fenomena seperti ini. “Dulu-dulu Merapi juga pernah begini, jadi ini seperti mengulangi lagi siklus lamanya. Jadi, masyarakat tetap tenang. Kami akan terus memantau Merapi. Kalau ada peningkatan aktivitas yang dinilai membahayakan, pasti akan segera kami sampaikan,” kata Sumarti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com