Beragam upaya dilakukan untuk mencegah banjir. Namun, banyak yang masih berupa upaya jangka pendek, seperti sodetan Sungai Ciliwung hingga modifikasi cuaca.
Peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan, mengatakan perlunya upaya jangka panjang untuk membebaskan Jakarta dari banjir.
Dalam konferensi pers "Skenario Mengatasi Banjir Jakarta", Kamis (23/1/2014), Jan memaparkan konsep pembangunan Jakarta agar bebas dari masalah banjir.
Salah satu langkah yang menurutnya penting adalah membawa masyarakat kelas menengah kembali tinggal di kota.
"Mereka yang menggerakkan ekonomi. Tapi, selama ini mereka tinggal di pinggiran Jakarta. Untuk tempat tinggal, mereka menyita ruang hijau," kata Jan.
"Masalah lain yang muncul karena tinggal di pinggiran adalah soal transportasi yang juga soal polusi dan subsidi BBM," imbuhnya.
Dengan membawa masyarakat kelas menengah kembali ke kota, ruang hijau untuk daerah serapan di wilayah selatan Jakarta bisa dipertahankan atau dikembalikan.
Jakarta, kata Jan, masih sangat mampu menampung warga yang berjumlah 9 juta. Yang diperlukan adalah rekayasa ruangan.
Singapura saat ini masih lebih padat dari Jakarta. Kepadatan penduduk mencapai 497 per hektar, sementara Jakarta hanya 207 per hektar.
Namun, kata Jan, ruang yang dipakai untuk hunian di Singapura jauh lebih rendah. Jakarta mencapai 65 persen total wilayah, sementara Singapura hanya 12 persen.
Agar bisa menampung warga dalam jumlah besar di wilayah yang lebih kecil, Jan memaparkan perlunya transformasi kampung atau hunian di Jakarta.
Hunian di Jakarta kini cenderung konvensional, horizontal, masih gaya kampung. Warga masih berpandangan bahwa memiliki hunian juga harus memiliki tanah.
Perlu ada perubahan sehingga hunian di Jakarta lebih menyesuaikan tantangan kota. Hunian masa depan bersifat vertikal.
Langkah lain yang diperlukan selain membawa masyarakat kelas menengah ke kota adalah mengelola air yang masuk di Jakarta.