Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Defensive Medicine", Dampak Buruk Kriminalisasi Dokter

Kompas.com - 02/12/2013, 15:38 WIB
Dr. Widodo Judarwanto Sp.A

Penulis

Sumber Kompasiana


Defensive medicine
  disebut juga pengambilan keputusan praktek kedokteran defensif, mengacu pada praktik dokter merekomendasikan tes diagnostik atau pengobatan yang belum tentu merupakan pilihan terbaik bagi pasien dan sesuai indikasi medis. Tetapi, praktek kedokteran defensif itu merupakan pilihan utama untuk melindungi dokter terhadap gugatan pasien dan vonis hakim yang berlebihan terhadap malapraktik dokter.

Defensive medicine adalah reaksi terhadap meningkatnya biaya premi asuransi malapraktik dan biasnya gugatan pasien yang tidak sesuai persepsi medis. Melainkan hanya memuaskan nafsu persepsi medis yang terbatas dari masyarakat awam dan penegak hukum.

Dokter di Amerika pun saat ini berada pada risiko tertinggi digugat dan overtreatment secara umum . Bukan hanya di Indonesia, jumlah tuntutan terhadap dokter di Amerika Serikat telah meningkat dalam dekade terakhir dan telah memiliki dampak besar pada perilaku dokter dan praktek medis.

Dokter meminta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan pemeriksaan lainnya dan menghindari mengobati pasien berisiko tinggi untuk mengurangi eksposur mereka terhadap tuntutan hukum, atau dipaksa untuk karena premi asuransi yang terlalu tinggi.

Defensive medicine juga mungkin terjadi pada para dokter di Indonesia apabila dokter terus terancam kriminalisasi seperti yang dialami oleh dokter Ayu. Doktyer Ayu adalah sebuah yurisprudensi terburuk hukum kedokteran Indonesia. Sang dokter berusaha menyelamatkan pasien, namun pasien meninggal karena hal yang sulit dan tidak bisa diprediksi tetapi dianggap kriminal.

Masyarakat awam dan hakim dengan persepsi medis yang terbatas melakukan kesalahan dalam menilai tindakan medis yang dilakukan dokter, sehingga terlalu berlebihan memvonis malapraktik bagi dokter. Tidak disadari, perilaku tersebut berdampak pada praktik kedokteran defensif atau defensive medicine yang justru merugikan pasien.

Defensive medicine adalah kondisi di mana dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak akan membahayakan posisinya. Hal ini berpotensi merugikan masyarakat dan negara. Kasus tersebut telah terjadi di negara maju. Defensive medicine di negara-negara tersebut terbukti meningkatkan biaya kesehatan akibat peningkatan biaya pemeriksaan. Melihat trauma kriminalisasi terhadap dokter, siapa dokter yang mau menerima pasien yang sedang kritis dan kemungkinan akan meninggal kalau nanti akhirnya bisa berakhir di penjara.

Defensive medicine yang dilakukan para dokter tidak hanya berdampak pada pasien namun juga rumah sakit.  Dokter akan berpikir, daripada saya dituntut biarkan saja pasien mati. Pengambilan keputusan defensive tidak hanya terjadi dalam perawatan kesehatan , tetapi juga dalam bisnis dan politik . Misalnya , manajer perusahaan internasional yang besar melaporkan membuat keputusan defensif dalam satu sepertiga sampai setengah dari semua kasus.  Artinya, para manajer mengejar pilihan yang terbaik kedua untuk perusahaan mereka, tetapi melindungi diri jika terjadi kesalahan di masa depan.

Defensive medicine terdiri dari dua bentuk utama yaitu perilaku jaminan dan perilaku menghindar. Perilaku jaminan melibatkan pengisian tambahan, layanan yang tidak perlu untuk a) mengurangi hasil buruk, b) mencegah pasien dari pengajuan klaim malapraktik medis , atau c) memberi bukti yang terdokumentasi bahwa praktisi sesuai dengan standar perawatan. Sehingga, jika di masa depan terdapat tindakan hukum dapat dicegah sedini mungkin . Perilaku menghindar terjadi ketika dokter menolak untuk berpartisipasi dalam prosedur berisiko tinggi atau keadaan emergency

Contoh defensive medicine:

Seorang dokter di Indonesia telah melakukan prosedur medis yang sesuai saat dokter menerima pasien berusia 3 tahun dengan keluhan demam berdarah. Pada saat hari pertama demam, orangtua pasien bersikeras meminta pemeriksaan darah terdap dokter tetapi dokter sudah menjelaskan kepada pasien bahwa pemeriksaan darah untuk melihat penyakit DBD pada hari pertama dan kedua tak terlalu informatif.

Dan sudah dijelaskan dan dapat diterima orangtua bahwa kalaupun terjadi demam berdarah pada hari pertama kedua pada penderita DBD tidak ada penanganan khusus karena masih belum menunjukkan manifestasi yang berat. Disarankan untuk melakukan cek darah pada hari ketiga.  Disarankan hari kedua dan hari ketiga harus kontrol ke dokter untuk memonitor keadaan pasien. Tetapi orangtua pasien tidak melakukan kontrol saat hari kedua dan ketiga karena anaknya dianggap sudah sehat karena demam pada hari ke tiga dan ke empat membaik. Namun tragisnya, saat hari ke lima anaknya semakin lemah dan semkin memburuk tetapi dianggap orangtuannya karena kelelahan biasa. Saat hari ke enam keadaan semakin memburuk dan anaknya meninggal sebelum dibawa ke rumah Sakit.

Melihat keadaan seperti itu, orangtuanya dengan latar belakan persepsi medis yang terbatas dan emosi terhadap dokternya melakukan gugatan terhadap dokter karena melakukan malapraktik karena saat hari pertama meminta pemeriksaan darah tidak dikabulkan dokternya. Padahal melihat cerita di atas dokter sudah melakukan prosedur medis yang benar sesuai kaidah ilmu kedokteran. Tetapi karena pasien membandel tidak mengindahkan kontrol ke dokter, menyalahkan kematian anaknya kepada dokter.  Orangtua menyalahkan kepada dokter tentang pemeriksaan darah pada hari pertama yang menurut persepsi medis tidak perlu dan tidak informatif bila dilakukan.

Pada kasus tersebut, meski sudah ada SOP di institusi tempat dokter bekerja tidak mengungkapkan secara detil pemeriksaan laboratorium hari pertama secara detil. Selanjutnya, si dokter trauma setiap bertemu pasien anak dengan keluhan demam. Semua pasien diperiksa darah lengkap, IgG dan IgM dengue pada hari pertama. Padahal tidak diindikasikan secara medis. Tetapi karena trauma gugatan malpraktek yang salah arah sebelumnya,  praktek kedokteran defensif yang justru merugikan pasien. Bayangkan, bila pemeriksaan darah tidak perlu pasien harus merogoh uang ratusan ribu bahkan sampai jutaan hanya karena defensive medicine karena dokter takut dikriminalisasi. Gugatan terhadap dokter juga seringkali terjadi karena kelalaian orang tua penderita yang melakukan kompensasi mencari kambing hitam dengan menyalahkan dokter.

Dampak praktek kedokteran defensif :

Halaman:
Sumber Kompasiana

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com