Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hisab dan Rukyat Masa Kini

Kompas.com - 21/07/2013, 10:15 WIB

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Selain belum terbentuknya kesepakatan para pihak, penentuan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia menjadi kian kompleks seiring berkembangnya 26 sistem hisab dan sebagian di antaranya memiliki akar yang dalam di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Khususnya melalui lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan. Meski telah diklasifikasikan dalam golongan kurang akurat (taqriby), akurat (tahqiqi), dan sangat akurat (haqiqi bittahqiq), sebagian di antaranya mengklaim diri mempunyai akurasi tinggi atas dasar keberhasilannya mendeteksi hilal, meski masih kontroversial.

Masalah akurasi ini menarik perhatian kala berselang dua bulan kalender sebelum Ramadhan 1434 H, terjadi insiden kecil yang tak begitu terekspos, namun penting. Insiden itu, pada Jumat, 10 Mei 2013 pagi, saat sebagian besar Indonesia menjadi kawasan terpapar Gerhana Matahari, meski hanya tercakup zona penumbra (bayangan sekunder) sehingga mengalami gerhana sebagian saja. Semua terkesiap saat gerhana ternyata benar-benar terjadi dan laporan-laporan observasi (rukyat) gerhana pun bermunculan dari berbagai penjuru Indonesia.

Padahal, sebagian dari 26 sistem hisab itu memprediksi Indonesia tidak tercakup ke dalam kawasan Gerhana Matahari, termasuk sistem yang dipakai ormas arus utama. Bahkan, ormas yang modern pun turut kejeblos kala memublikasikan gerhana bakal terjadi pada Sabtu 11 Mei 2013 atau berselisih sehari kemudian.

Peristiwa ini memberikan kesan terjadinya salah-hitung sekaligus mengundang tanya bagaimana kendali mutu (tashih) yang diterapkan dalam tubuhnya? Kasus ini bukan yang pertama karena dalam sejumlah peristiwa gerhana sebelumnya, umumnya Gerhana Bulan, hal serupa juga dijumpai.

Hisab modern

Jika untuk memprediksi Gerhana Bulan atau Matahari saja meleset, dapatkah kita menaruh percaya akan kredibilitasnya dalam menyuguhkan hasil hisab bagi kepentingan penentuan awal Ramadhan dan hari raya?

Terlebih di masa kini, khususnya dalam empat dasawarsa terakhir, di luar sana telah terbangun pengetahuan prediktif posisi Bulan yang jauh lebih akurat seiring suksesnya pendaratan manusia di Bulan lewat program Apollo. Ke-12 astronot yang menapakkan kaki di Bulan itu secara terpisah telah memasang cermin retroreflektor untuk keperluan pengukuran jarak Bumi-Bulan menggunakan berkas laser sehingga menghasilkan presisi sangat tinggi.

Maka, kini kita bisa mengukur jarak Bumi-Bulan dengan begitu akurat sehingga paling banter hanya akan meleset beberapa sentimeter saja. Konsekuensinya, kita pun kini memperoleh algoritma mutakhir yang mampu memprediksikan posisi Bulan dengan tingkat ketelitian sangat tinggi, jauh melampaui apa yang pernah ada dalam bayangan Galileo Galilei atau Johannes Kepler sekalipun. 

Idealnya, akurasi sistem hisab diukur berdasarkan perbandingannya terhadap hasil rukyat. Namun, bukan rukyat hilal seiring belum adanya definisi yang ilmiah dan berterima terhadap obyek bernama hilal ini. Selain untuk memprediksi hilal, seluruh sistem hisab pada galibnya bertujuan memprediksi posisi Bulan dan Matahari pada waktu-waktu tertentu yang dikehendaki.

Dalam kenyataannya, selain menghasilkan fase-fase Bulan yang beraneka ragam, kombinasi pergerakan Matahari dan Bulan secara bersama-sama juga menghasilkan fenomena gerhana berupa Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan.

Gerhana Matahari selalu bertepatan dengan saat konjungsi (ijtima’), sementara Gerhana Bulan bersamaan waktunya dengan Bulan purnama/oposisi (istikbal). Sistem hisab yang akurat adalah yang mampu memprediksikan Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan. Termasuk dalam memprediksi bermacam bentuk gerhana. Misalnya, dalam Gerhana Matahari berupa Gerhana Total, Gerhana Cincin dan Gerhana Parsial (Sebagian). Sementara, bagi Gerhana Bulan adalah Gerhana Total, Gerhana Parsial, dan Gerhana Penumbral.

Dalam kasus Gerhana Matahari 10 Mei 2013 lalu, ternyata hanya sebagian sistem hisab khususnya yang tercakup pada golongan haqiqi bittahqiq yang mampu memprediksinya. Yakni sistem hisab yang berdasarkan algoritma VSOP-87 ataupun ELP-2000 dengan segala versinya. Mereka adalah turunan langsung dari data rukyat pengukuran jarak Bumi-Bulan termutakhir berbasis cermin retroreflektor.

Fakta tersebut menunjukkan sistem hisab berakurasi sangat tinggi adalah sistem hisab generasi termutakhir. Sebagai implikasi dari akurasinya, sistem ini juga dikenal rumit karena berbasis banyak sekali persamaan matematis yang memperhitungkan banyak faktor dan banyak diantara persamaannya yang demikian panjang. Hal ini dipandang menyulitkan, khususnya dalam kacamata klasik.

Pada saat yang sama, kerumitan ini tak perlu terjadi seiring perkembangan teknologi komputasi dan informasi. Kini algoritma-algoritma tersebut telah diimplementasikan pula dalam sejumlah program komputer yang mudah digunakan, misalnya Starry Night, Stellarium, Celestia, Accurate Times, Mawaaqit dan sebagainya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com