Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Menyingkap Hilal

Kompas.com - 16/07/2013, 10:03 WIB

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Dengan setiap “kriteria” untuk menentukan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia, baik “kriteria” wujudul hilal maupun imkan rukyat revisi, ternyata sama-sama bertumpu pada anggapan (asumsi). Maka, pertanyaannya, bisa tidak sih sebuah kriteria tunggal yang diterima oleh para pihak dan sahih secara ilmiah dikonstruksi?

Pertanyaan tersebut telah lama tertancap dalam benak cendekiawan falak generasi terkini. Kriteria tunggal secara teknis sebenarnya bisa dirumuskan, sepanjang data rukyat hilal yang mencukupi telah tersedia.

Dengan teknologi terkini, di mana teleskop telah tersedia dan dilengkapi penyangga otomatik yang mampu mengarahkan diri langsung ke posisi Bulan tanpa campur tangan manual, maka rukyat hilal berlangsung lebih mudah. Sebab, perukyat tak lagi disibukkan dengan mengelola detil-detil teknis instrumennya sehingga bisa lebih berkonsentrasi dalam mengamati bidang langit yang disasar teleskop.

Namun, pengumpulan data tetap dibatasi beragam kendala yang sifatnya alamiah. Salah satunya, tidak setiap saat Bulan bisa berada dalam status hilal karena hilal hanya ada pada saat Matahari terbenam pasca terjadinya konjungsi. Dengan setahun Masehi (Tarikh Umum), ada 12 atau 13 konjungsi sehingga rukyat hilal bisa terselenggara 12 atau 13 kali setahun.

Di sisi lain, seperti halnya setiap fenomena di alam semesta yang berpasang-pasangan dan simetris, hilal juga memiliki pasangannya sendiri yang disebut hilal tua. Bentuknya serupa dengan hila. Hanya, hilal tua ada di pagi hari jelang Matahari terbit sebelum konjungsi. Hilal tua tidak mengandung implikasi hukum syar’i sebagaimana hilal, namun secara astronomis sama pentingnya.

Jika hilal tua diperhitungkan, maka dalam setahun idealnya dapat terselenggara 24 hingga 26 kali rukyat. Bagi negeri seperti Indonesia yang diwarnai musim hujan dengan hari-hari hujan bisa mencapai 4 bulan kalender per tahun, maka jumlah ideal itu masih terpangkas lagi hingga tinggal 16 sampai 17 rukyat per tahun.

Jika terjadi anomali cuaca yang menyebabkan kemarau bersifat basah, seperti yang terjadi pada 2010 M dan 2013 M ini, maka jumlah itu pun kian menciut lagi. Satu-satunya cara untuk mengatasi keterbatasan alamiah ini hanyalah dengan menyebar titik-titik rukyat hilaal ke segenap penjuru, tak hanya bertumpu di satu titik.

SRIWIJAYAPOST/SYAHRUL HIDAYAT Ilustrasi pemantauan hilal.
RHI, ICOP

Dengan segenap keterbatasan tersebut, upaya untuk memperoleh data rukyat hilal yang sahih dan reliabel sepanjang tahun tetap dilakukan. Di Indonesia, upaya yang sangat menonjol dilakukan oleh jejaring RHI, yang bernaung di bawah Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI). Ini merupakan jejaring mandiri, tidak berafiliasi kepada ormas Islam tertentu dan tidak pula berada di bawah struktur Kementerian Agama.

Sejak 2007, jejaring ini mulai menyelenggarakan kampanye rukyat hilaal dan hilaal tua yang sistematis dan menerus, jadi tak hanya sekedar jelang Ramadhan dan hari raya, dengan prosedur sesuai kaidah astronomi.

Dua tahun kemudian, dengan titik-titik rukyat mandiri dan temporal yang menyebar mulai dari Lhokseumawe (Aceh) hingga Gresik (Jawa Timur) telah terhimpun 172 data rukyat. Kini aktivitas tersebut masih berlangsung, walaupun sempat terganggu oleh kejadian kemarau basah 2010 dan 2013 serta anomali 2011.

Selain jejaring RHI, Observatorium Bosscha juga melaksanakan hal serupa semenjak 2008 di berbagai titik segenap penjuru Indonesia, meski sebatas jelang Ramadhan dan hari raya. Di luar itu observasi diselenggarakan di kompleks Observatorium Bosscha sendiri, di Lembang (Jawa Barat).

Di mancanegara, upaya serupa digelar ICOP, yang berada di bawah naungan AUASS (Arab Union for Astronomy and Space Sciences) dan JAS (Jordanian Astronomical Society). ICOP bahkan memulainya lebih dulu, yakni semenjak 1998. Hingga 2006 silam, telah terhimpun 737 data rukyat, tak hanya dari negara-negara Arab, tetapi juga lintas negara seperti dari Asia Tenggara dan bahkan lintas kontinen dari Eropa serta AS. 

Satu dekade sebelum ICOP, Bradley Schaefer (AS) telah menginisiasi Moonwatch Campaign dalam lima kesempatan berbeda di segenap penjuru daratan Amerika Utara yang melibatkan lebih dari 2.000 perukyat. Ia berhasil memperoleh 294 data.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com