Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Matahari di Atas Kiblat?

Kompas.com - 13/07/2013, 08:38 WIB

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

KOMPAS.com — Mari lanjutkan perbincangan akan fenomena Matahari yang bisa menempati posisi tepat di atas kiblat. Salah satunya bakal terjadi pada 14 hingga 16 Juli 2013 pukul 16.27 WIB. Cendekiawan falak menyebut peristiwa langka ini sebagai istiwa’ azzam, yakni saat Matahari berkedudukan di titik istiwa’ utama (zenith). Namun, fenomena tersebut juga populer dengan sebutan rashdul qiblat. (Baca: Matahari Tepat di Atas Mekkah, Cek Arah Kiblat 14-16 Juli!)

Nah, pertanyaannya, bagaimana Matahari bisa mengalami situasi seperti itu?

Kuncinya terletak pada Bumi sendiri. Sebagai imbas dari masa lalunya yang demikian menakjubkan, terutama setelah terjadinya hantaman protobumi dengan prototheia di masa bayi tata surya, poros Bumi kita tak lagi tegak lurus, tetapi termiringkan.

Cepatnya rotasi Bumi yang membuat area di sekeliling khatulistiwa menggelembung, sementara kawasan kutub-kutubnya memepat membuat Bumi turut diganggu oleh gravitasi planet-planet tetangga, khususnya si terang Venus dan si raksasa gas Jupiter. Akibatnya, kemiringan sumbu rotasi Bumi pun berubah-ubah secara gradual, yakni antara 22,1 hingga 24,5 derajat terhadap bidang tegak lurus ekliptika.

Perubahan ini memiliki periodisitas 45.000 tahun dan menjadi bagian siklus Milankovitch yang turut mengontrol perubahan iklim Bumi hingga ke titik ekstremnya.

Besarnya kemiringan sumbu Bumi saat ini adalah 23,44 derajat dan dalam 9.800 tahun ke depan akan terus menurun hingga mencapai nilai terendahnya, yakni 22,1 derajat. Saat ini, kutub utara langit, yakni proyeksi sumbu rotasi bumi di langit bagian utara, mengarah tepat ke bintang Polaris di gugusan bintang Ursa Minor sehingga Polaris pun mendapat kehormatan menyandang status bintang kutub.

Namun, dalam 10.000 tahun mendatang kutub utara langit akan bergeser sedemikian rupa sehingga bakal sangat berdekatan dengan bintang al-Fawaris atau Rukh (delta Cygni) di gugusan bintang Cygnus. Pergeseran bintang kutub ini merupakan konsekuensi dari miringnya sumbu Bumi yang masih ditambah dengan gangguan gravitasi Venus dan Jupiter.

Penjaga waktu

Miringnya sumbu rotasi Bumi berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya adalah berubah-ubahnya posisi semu Matahari saat dilihat dari Bumi. Hal ini merupakan efek yang muncul dari kombinasi kemiringan sumbu rotasi Bumi dengan gerak Bumi mengelilingi Matahari. Maka,  sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) kita akan menyaksikan proyeksi posisi Matahari di muka Bumi senantiasa bergeser dan bersifat siklik, yakni mulai dari garis khatulistiwa (pada 20/21 Maret) beringsut ke utara hingga menempati garis lintang 23,44 LU (20/21 Juni), lantas kembali lagi ke khatulistiwa (22/23 September). Kemudian, ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS (21/22 Desember) untuk kemudian kembali lagi ke khatulistiwa.

Jika sepanjang waktu tersebut posisi Matahari diabadikan pada jam yang sama untuk tanggal-tanggal yang berbeda dengan selisih tanggal tetap, kita akan menjumpai pola khas menyerupai angka delapan yang bernama analemma.

Sumber: NASA Astronomy Picture of the Day, 2012. Pola analemma sebagai bagian dari gerak semu Matahari, disini diabadikan dari pelabuhan Baku (Azerbaijan) di tepi Laut Kaspia. Hanya separuh pola analemma yang terlihat di sini karena pemotretan hanya berlangsung dalam selang waktu 2 April (paling kiri) hingga 16 September (paling kanan) atau tidak sepanjang waktu di tahun 2012.

Siklus gerak semu Matahari ini menjadi penjaga waktu (time-keeping) untuk sistem penanggalan berbasis Matahari seperti kalender Masehi (Tarikh Umum). Siklus ini juga menjadikan setiap titik mana pun di muka Bumi yang terletak di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS akan mengalami situasi di mana Matahari dapat menempati titik zenith-nya dalam bola langit horizon setempat.

Dengan kata lain, di mana pun kita berdiri, sepanjang masih berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS,  akan terjadi situasi di mana Matahari bakal tepat berada di atas kepala kita dalam dua kesempatan berbeda setiap tahun Masehi (Tarikh Umum). Jika hal ini terjadi, tak ada benda yang berdiri tegak lurus muka Bumi atau paras air laut rata-rata yang memiliki bayangannya saat Matahari mencapai puncak kulminasinya.

Jadi, "hari tanpa bayangan" tak hanya sekedar terjadi di garis khatulistiwa saja. Bagi Jakarta, misalnya, fenomena hari tanpa bayangan akan terjadi setiap tanggal 4/5 Maret dan 8/9 Oktober.
Kabah sebagai pusat kota suci Mekkah terletak pada garis lintang 21,427 LU sehingga juga mengalami fenomena hari tanpa bayangan yang sama, yakni pada tanggal 27/28 Mei pukul 12.17 dan 14/15 Juli pukul 12.27 waktu Mekkah setiap tahunnya.

Namun, dengan konsepsi kiblat sebagai lingkaran berdiameter 45 km yang berpusat di Kabah,  fenomena tersebut bakal terjadi pada 26-28/27-29 Mei dan 13-15/14-16 Juli, bergantung apakah tahun Matahari yang sedang dijalani merupakan tahun kabisat atau bukan. Rentang waktu ini merupakan konsekuensi dari bergesernya proyeksi posisi Matahari di muka Bumi sebesar rata-rata 20 km/hari ke arah utara/selatan dari suatu tempat dalam kulminasi atasnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com