JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun ini anomali cuaca kembali mengancam. Para pengamat cuaca dan iklim menyimpulkan, curah hujan dan musim kemarau akan cenderung basah. Itu disebabkan serangkaian anomali di kawasan sekitar Indonesia yang berdampak hingga akhir tahun.
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Edvin Aldrian mengatakan, menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia menyebabkan curah hujan tinggi di sebagian wilayah Indonesia hingga saat ini.
Lemahnya arus massa udara dari Australia membuat uap air tak terdorong ke utara/daratan Asia. ”Massa udara ini tertahan di atas Indonesia. Akibatnya, wilayah kita terkepung,” kata Edvin di Jakarta, Minggu (2/6/2013).
Pendapat sama dikemukakan Fadli Samsuddin, Manajer Laboratorium Geotech Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. ”Curah hujan tinggi pada musim kemarau ini dipengaruhi suhu muka laut yang di atas normal,” katanya.
Suhu laut di wilayah Pasifik barat, termasuk wilayah Indonesia, relatif hangat dibandingkan dengan wilayah tengah dan timur Samudra Pasifik sehingga penguapan di Indonesia cukup besar. Kondisi itu diperkirakan baru normal akhir tahun ini.
Suhu muka laut di Samudra Hindia timur saat ini juga hangat sehingga suplai uap air ke Indonesia barat dan tengah cukup banyak. Fenomena itu akan berdampak pada wilayah barat: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Saat ini, kenaikan suhu muka laut 0,5-1 derajat celsius dan mencapai 2 derajat celsius pada Oktober 2013. Indonesia juga dibayangi anomali lain, yaitu pola hujan bercurah tinggi yang muncul dalam periode 3 minggu hingga 1 bulan (Madden Julian Oscillation/MJO). ”Saat ini MJO di kawasan Afrika. Sebulan ke depan tiba di Indonesia. Kawasan yang terpengaruh umumnya di sekitar khatulistiwa,” kata Fadli.
Deputi Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Thomas Djamaluddin mengatakan, suhu muka laut hangat memicu peningkatan curah hujan pada pancaroba ini. ”Jika berlanjut, berpotensi jadi kemarau basah, kemarau yang banyak hujan seperti tahun 2010,” ujarnya. Saat itu, beberapa jenis pohon buah, seperti durian, mangga, dan manggis, terganggu berbuah.
Terkait pemanasan laut, mekanismenya tak bisa dijelaskan. Namun, itu terkait penerimaan dan distribusi panas permukaan bumi. Di atas laut yang hangat, massa uap air meningkat, sedangkan tekanan udara cenderung berkurang. Daerah itu berpotensi menjadi daerah pembentukan dan berkumpulnya awan yang berarti berpotensi menjadi daerah penerima hujan di atas normal.
Kondisi laut juga sulit ditebak. Ratusan nelayan tradisional di Krui, Lampung, tak melaut setengah bulan terakhir. ”Tahun-tahun sebelumnya, pertengahan Mei adalah dimulainya musim mencari ikan,” kata Kamaruzzaman, Ketua Kelompok Nelayan Pesisir Bersatu di Krui.
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, nelayan sering berhenti melaut sepanjang tahun ini. Cuaca buruk terjadi tiap bulan dan menurunkan pendapatan nelayan. ”Dalam satu bulan, cuaca buruk bisa terjadi 10-15 hari. Ketinggian ombak di sekitar pantai saja mencapai 2 meter,” kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Tasikmalaya Dedi Mulyadi.
Kondisi daerah
Menghadapi kondisi basah sepanjang tahun di sebagian wilayah, pemerintah belum siap. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) berpuluh tahun minim perbaikan. Di banyak daerah, sejumlah DAS disesaki permukiman, lahan pertanian, dan alih fungsi lahan lain.
Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, satu dekade ini luasan hutannya berkurang 8.000 hektar dari total luas 61.733 hektar di lereng Gunung Bawakaraeng.
Di Sumatera Utara, 22,08 persen luas total DAS Deli yang mencapai 47.298,01 hektar masuk kategori kritis, erosi di areal tanaman semusim 121-345 ton per hektar, sedangkan di daerah hutan 16-18 ton per hektar.