Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moratorium Pertambangan Diharapkan Bisa Ditetapkan

Kompas.com - 06/05/2013, 16:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah kalangan mendukung seruan agar moratorium izin baru pertambangan diperketat dan disediakan regulasi pendukungnya. Itu supaya pelaksanaan moratorium mencapai sasaran perbaikan pengelolaan sumber daya alam.

”Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan, saat itu pula moratorium pertambangan terjadi,” kata Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001, Sabtu (4/5/2013), yang saat dihubungi sedang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Ia menanggapi respons Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya yang mengusulkan moratorium pertambangan diperketat. Pengetatan agar mempertimbangkan aspek kerusakan dan pencemaran lingkungan, bukan hanya masalah perizinan/administratif.

Sonny mengatakan, UU No 4/2009 tak secara langsung menyebut kata-kata moratorium. Namun, ia menunjukkan UU itu mensyaratkan setiap pertambangan harus berada di dalam wilayah pertambangan.

Hingga kini, wilayah pertambangan belum ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bahkan, para aktivis lingkungan meminta agar penyusunan wilayah pertambangan itu terbuka, dan meminta pendapat masyarakat.

”Selama wilayah pertambangan belum ditetapkan, tak boleh ada izin dari pusat ataupun daerah untuk aktivitas pertambangan. Ini, kan, sama dengan moratorium,” katanya.

Hendrik Siregar, pengampanye dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menilai, seruan Menteri Lingkungan Hidup agar moratorium diperketat terlambat. ”Meski terlambat, lebih baik dimulai. Sejak lama Jatam menyatakan moratorium pertambangan,” ucapnya.

Beberapa indikator keberhasilan moratorium, kata Hendrik, adalah setiap izin yang dikeluarkan clean and clear, tak ada tumpang tindih, dan daya dukung lingkungan terjaga. Ia berharap moratorium itu tidak dimanfaatkan untuk ”jual/beli” perizinan mendekati tahun politik 2014.

Data Jatam 2013, luas Provinsi Kalimantan Timur 19,88 juta hektar, tetapi memiliki luas konsesi 21,7 juta ha. Ini menunjukkan tumpang tindih lahan masih terjadi. (ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com