Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tergusur, Orangutan Semakin Rentan

Kompas.com - 31/03/2013, 20:25 WIB
Fifi Dwi Pratiwi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan perkebunan sawit atau Hutan Tanaman Industri (HTI) membuat orangutan 'tergusur' dan dipaksa pindah ke area sempit yang 'disediakan' perusahaan perkebunan atau HTI tersebut.

Luasan area yang sempit, membuat kerapatan Orangutan di lokasi tersebut menjadi tinggi dan akhirnya Orangutan terpaksa mencari makan di luar kawasan konservasi atau bahkan pindah ke habitat lain.

Fakta itu terungkap dari kajian perilaku ekologi dan distribusi orangutan di berbagai lansekap di Kalimantan Timur yang dilakukan Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (ECOSITROP) Universitas Mulawarman dan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 2012 yang dipaparkan pada Kamis (28/3/2013).

Salah satu parameter yang dikaji oleh tim peneliti adalah kerapatan jenis Orangutan morio (Pongo pygmaeus morio) di lima tipe lansekap yakni hutan primer dan hutan sekunder, kawasan perkebunan sawit, kawasan HTI, kawasan kars, dan kawasan reklamasi pasca tambang.

Berdasarkan hasil penelitian, nilai kerapatan individu di kawasan perkebunan sawit, HTI, dan reklamasi pasca tambang lebih tinggi dibandingkan kerapatan di hutan primer dan sekunder.

Populasi yang terlalu rapat bisa berdampak pada terjadinya kompetisi antar anggota populasi untuk mencari makanan. Hal ini 'memaksa' orangutan untuk mencari makanan di luar areal sempit yang menjadi habitatnya kini.

Adapun lokasi yang menjadi 'sasaran' Orangutan adalah kawasan perkebunan sawit dan HTI yang berada dekat dengan 'rumah baru'nya.

"Kerapatan ideal untuk populasi Orangutan adalah 10 - 20 individu/1.000 Ha.Sehingga untuk populasi 100 - 150 individu orangutan diperlukan luasan habitan sebesar 10.000 Ha," kata Dr Yaya Rayadin, ketua ECOSITROP.

"Luasan habitat yang terlalu sempit akan menimbulkan kompetisi yang kuat antar anggota populasi orangutan," tambahnya.

Kerusakan yang disebabkan oleh 'serangan' orangutan tidak sedikit. Yaya menyebutkan bahwa satu individu orangutan morio bisa menghabiskan 30 - 50 pokok sawit per harinya.

Jumlah ini bila dikalkulasi dengan jumlah populasi orangutan morio di lokasi tersebut dan rentang waktu keberadaan orangutan, bisa mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan tersebut. Sebagai akibatnya, orangutan dianggap sebagai hama oleh para pelaku perkebunan sawit.

Kondisi di HTI pun tak jauh berbeda. Orangutan morio di kawasan tersebut ditempatkan pada area-area kecil yang didedikasikan perusahaan sebagai area konservasi.

Akan tetapi penempatan itu ternyata menjadi bumerang bagi perusahaan. Populasi Orangutan yang terlalu padat, membuat orangutan mencari makan di areal HTI. Dalam sehari, seekor Orangutan morio bisa memakan 40 kambium pohon akasia.

Selain 'menyerang' perkebunan kelapa sawit dan kawasan HTI, orangutan morio yang tergusur juga pindah ke habitat lain seperti kawasan reklamasi pasca tambang dan kawasan kars.

Menurut Yaya, perpindahan Orangutan ke kawasan ini pun tidak berarti selesai dari masalah. Justru memunculkan potensi masalah ekologis baru, yakni potensi perubahan perilaku Orangutan yang semula hewan arboreal menjadi hewan terestrial.

Dalam hasil studi, terungkap kalau Orangutan yang hidup di kedua kawasan tersebut cukup sering berada di atas permukaan tanah. Bila Orangutan berubah perilaku menjadi hewan terestrial, mereka akan menjadi mangsa dari predator yang habitatnya di permukaan tanah.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, Yaya memberikan rekomendasi upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir 'serangan' orangutan.

"Solusi yang bisa ditawarkan untuk mengantisipasi hal ini diantaranya sebelum melakukan land clearing, perusahaan harus merencanakan dan menentukan lebih dahulu kawasan yang akan dijadikan kawasan konservasi. Lalu, land clearing harus dilakukan secara benar, bertahap, dan tidak sporadis," kata Yaya.

"Untuk perusahaan-perusahaan kecil yang lokasinya berdampingan, mungkin bisa mengembangkan kawasan konservasi bersama dengan luasan yang besar, dibandingkan membuat kawasan yang jumlahnya banyak tapi luasannya sempit," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com