Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengeboman Tuna Ancam Perikanan Indonesia

Kompas.com - 14/03/2013, 22:37 WIB
Fifi Dwi Pratiwi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Praktik penangkapan ikan menggunakan bom harus dilarang, karena selain membahayakan pelaku, praktik ini juga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem.

Sayangnya, praktik ini ternyata masih marak dilakukan oleh nelayan yang beroperasi di perairan Kabupaten Flores Timur. Nelayan-nelayan itu menggunakan bom untuk menangkap ikan tuna sirip kuning berukuran besar lebih dari 25 kg.

Fakta ini terungkap dari hasil kajian yang dilakukan WWF-Indonesia di lokasi tersebut. Dwi Ariyogagautama, Fisheries Senior Officer WWF-Indonesia di Nusa Tenggara Timur memaparkan laporannya yang berjudul "Potret Pemboman Ikan Tuna di Perairan Kabupaten Flores Timur" dalam konferensi pers yang diselenggarakan Kamis (14/3/2013) di Jakarta.

Dalam paparannya, Dwi menjelaskan bahwa perilaku pengeboman ini telah berlangsung sejak tahun 2004 hingga saat ini. WWF-Indonesia baru mulai melakukan survey pada tahun 2009.

Berdasarkan hasil pengamatan WWF-Indonesia, antara tahun 2009-2010, tercatat sebanyak 88 kapal berukuran 2-3 Gross Ton (GT) dari 165 kapal yang ada di desa kajian yang melakukan praktik pengeboman ikan tuna.

Jumlah ini meningkat menjadi 98 kapal di tahun 2011, dan kemudian menurun menjadi 74 kapal di tahun 2012. Dwi menduga penurunan jumlah kapal di tahun 2012 dikarenakan mahalnya biaya operasional yang harus dikeluarkan akibat semakin jauhnya jarak yang ditempuh untuk bisa mengebom ikan.

Praktik pengeboman ikan tuna ini dilakukan pada saat musim migrasi ikan tuna yang terjadi antara bulan Agustus - November setiap tahunnya.

"Pada bulan-bulan yang menjadi puncak migrasi ikan tuna, rata-rata nelayan melakukan 8-15 kali perjalanan setiap bulannya. Dalam satu kali perjalanan, nelayan melemparkan bom sebanyak 7-10 buah bom terbuat dari pupuk urea yang dimasukkan dalam botol kaca. Jika dirata-ratakan ada 56 - 150 kali ledakan bom di laut lepas setiap bulannya," papar Dwi.

Pada satu kali lemparan bom, ikan tuna yang terkena dampak ledakan berkisar antara 2-15 ekor. Namun, tidak semua ikan tuna itu berhasil diangkat ke atas kapal. Rata-rata hanya 7-8 ekor ikan saja yang berhasil di angkat ke atas kapal, sisanya dibiarkan tenggelam karena nelayan yang bertindak sebagai penyelam tidak mampu 'mengambil' ikan tersebut.

Menurut Dwi, bila kondisi ini dibiarkan tanpa ditindaklanjuti, ke depan bisa menimbulkan masalah bagi industri berbasis perikanan di Indonesia. Selain kemungkinan kelangkaan ikan tuna akibat praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan, komoditas ikan tuna yang berasal dari indonesia terancam dilarang oleh negara importir.

"Praktik ini sulit dikendalikan karena memang ada pasar yang 'siap menampung' ikan tuna yang hasil pemboman. Berdasarkan hasil kajian kami, pada kapal-kapal penampung, dalam satu musim penangkapan tuna, total tuna yang diperjualbelikan bisa mencapai Rp. 896 - 3.155 juta dengan perkiraan total ikan yang ditangkap mencapai 57,6 - 210 ton tuna," kata Dwi.

Ia menjelaskan perhitungan itu didasarkan dari hasil perhitungan delapan kapal penampung berukuran 10 GT, belum memperhitungkan jumlah ikan tuna hasil bom yang dibeli oleh kapal besar (lebih dari 300 GT).

Untuk mengatasi hal ini, Dwi mengungkapkan perlunya regulasi yang mengatur pemasaran produk perikanan. Produk perikanan yang dipasarkan harus bersumber dari praktik yang ramah lingkungan. Hal lain adalah peningkatan kapasitas nelayan melalui penyuluhan kepada nelayan tentang praktik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan peningkatan upaya monitoring dan pengamanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com