Demikian disampaikan koalisi lembaga swadaya masyarakat, di Jakarta, Selasa (15/1). Koalisi terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Institut Hijau Indonesia, Forum Masyarakat Sipil (CSF-CJI), The Institute for Ecosoc Rights, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), serta Justice, Peace, and the Integrity of Creation (JPIC/Formmada).
Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengatakan, pada 2009-2012, pemerintah mengeluarkan 10.677 izin usaha pertambangan mineral dan batubara. ”Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto hanya mengeluarkan izin tambang tak lebih dari 1.000 izin,” kata Chalid.
Hendrik Siregar dari Jatam menyebutkan, total luas kawasan izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah saat ini 33,55 juta hektar. Pada masa Orde Baru, dengan sistem kontrak karya (KK), setara 30,66 juta hektar. Rezim KK tak mengenal batas luas, tetapi tak semuanya ditambang karena siasatnya kontrak jangka panjang.
Sebaliknya, menurut Chalid, saat ini semua kawasan seolah boleh ditambang. ”Bukan berarti zaman Orba lebih baik, tetapi kenyataannya saat itu tidak semasif sekarang. Misalnya, Jawa yang saat itu diproyeksikan sebagai sentra pertanian, nyaris tak disentuh tambang,” katanya.
Siti Maemunah dari CSF-CJI mengatakan, tambang merangsek ke pulau-pulau kecil yang ekologinya rapuh. Bahkan, izin tambang juga diberikan di kawasan taman nasional: Taman Nasional Laywangge Wanggameti dan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). ”Pulau Sumba sangat kecil, ekologinya rapuh. Apalagi, izin tambang di taman nasional,” katanya.
Masalah ini terjadi karena adanya tumpang tindih perizinan. ”Anehnya, ini diakui sendiri oleh Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, beberapa waktu lalu. Namun, tak ada tindakan apa pun,” katanya.
Pemerintah mengakui, dari 8.000 izin tambang mineral dan batubara, 6.000 di antaranya tumpang tindih dengan sesama izin tambang ataupun dengan izin pengelolaan hutan tanaman industri (Kompas, 24/5/2011).
Yohanes Kristo Tara dari JPIC menambahkan, di NTT yang terdiri atas 566 pulau kecil, setidaknya ada 414 izin pertambangan. ”Izin tambang ini kebanyakan bermasalah, misalnya tambang mangan di Manggarai, Pulau Flores, ternyata di Hutan Lindung Nggalak Rego RTK 103,” katanya. Masyarakat protes, tetapi tak ada yang peduli.
Sri Palupi dari The Institute for Ecosoc Rights menegaskan, meningkatnya eksploitasi justru menyengsarakan rakyat. ”Sistem politik penjarahan Indonesia kian terjebak pada struktur ekonomi ekstraktif. Kita punya 40 kaya orang terkaya di dunia, semua dari industri ekstraktif, tapi rakyat tak tambah sejahtera,” katanya.
Chalid mengatakan, pertambangan erat dengan korupsi dan salah guna kekuasaan. ”Menjadi alat partai mengeruk uang. Ini akan meningkat jelang 2014,” katanya.