Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengingat Nestapanya, tetapi Lupa Bersiaga

Kompas.com - 27/12/2012, 11:30 WIB

Oleh Ahmad Arif

KOMPAS.com - Jika ada yang tak bisa dihapuskan waktu, kenangan terhadap tsunami Aceh adalah salah satunya. Tiap 26 Desember, warga Aceh mengenang tragedi yang menewaskan 160.000 jiwa itu. Akan tetapi, sebenarnya yang lebih penting adalah membangun Aceh agar lebih bersiaga terhadap tsunami.

Kini, kota-kota di Aceh lebih gemerlap dibandingkan dengan sebelum tsunami melanda. Apalagi, tsunami juga membawa perdamaian, setelah 32 tahun sebelumnya Aceh dibekap konflik berdarah.

Namun, gempita pembangunan di wilayah paling barat Nusantara ini sepertinya melupakan aspek kesiapsiagaan terhadap gempa dan tsunami. Gedung dan rumah baru bermunculan di pesisir pantai, di tapak yang pernah dihancurkan tsunami. Padahal, gempa dan tsunami adalah siklus yang selalu berulang.

Pada 2008, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Katrin Monecke dari Kent State University serta lima peneliti lain menemukan bahwa sebelum tsunami 2004 setidaknya pernah terjadi dua kali tsunami raksasa di kawasan ini.

Para ilmuwan ini mengebor 100 lokasi di rawa-rawa Suok Timah, Meulaboh, Aceh Barat. Pengeboran dilakukan 2 kilometer dari pantai pada 2007-2008. Hasilnya ditemukan lapisan tanah yang diduga terbentuk akibat tsunami raksasa pada masa lalu.

Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, tsunami diperkirakan terjadi antara tahun 780-990 dan tahun 1290-1400. Data ini terkonfirmasi dengan penggalian serupa di Pulau Phra Thong, Thailand. Di sana, tim peneliti menemukan deposit tsunami berusia sekitar tahun 1300-1450, yang menunjukkan tsunami di masa lalu itu juga berskala regional.

Selain temuan Widjo, beberapa literatur lama dan manuskrip yang belakangan ditemukan menunjukkan gempa dan tsunami kerap terjadi di kawasan Aceh. Salah satunya manuskrip ”takbir gempa” yang tersimpan di Perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah anonim itu diperkirakan dibuat abad ke-18, tiga abad sebelum tsunami 2004.

Kehilangan momen

Hanya soal waktu, kapan gempa dan tsunami kembali datang. Namun, sistem mitigasi bencana di Aceh saat ini seolah hanya ditumpukan pada enam sirene tsunami, empat escape building, dan pendidikan tentang tsunami yang masih setengah hati.

Hasilnya mudah dibayangkan. Kepanikan melanda kota ini ketika gempa besar mengguncang seperti pada Rabu sore, 11 April 2012. Gempa berkekuatan 8,1 skala Richter dan 8,3 skala Richter yang berpusat sekitar Pulau Simeulue menjadi cermin lemahnya sistem mitigasi bencana.

Enam sirene tsunami, yang masing-masing seharga Rp 6 miliar, gagal berbunyi. Orang-orang yang tinggal di tepi pantai berhamburan di jalanan dengan kendaraan bermotor. Jalanan macet, kecelakaan pun terjadi. Beruntung, gempa waktu itu tak diikuti tsunami.

”Untuk daerah seperti Aceh yang wilayah pesisirnya landai, satu-satunya jalan sebenarnya adalah memindahkan permukiman ke zona aman,” kata Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono.

Namun, menurut Subandono yang juga ahli tsunami ini, kita melewatkan golden time untuk memperbaiki tata ruang Aceh agar lebih bersiaga terhadap tsunami. ”Momen terbaik untuk memperbaiki tata ruang Aceh sebenarnya ketika masyarakat masih di pengungsian,” katanya.

Pascatsunami Aceh, sejumlah ahli sebenarnya sudah mengusulkan perbaikan tata ruang, termasuk usulan pengosongan kawasan pesisir dari hunian dan penanaman bakau sebagai sabuk hijau. Akan tetapi, wacana itu tak terealisasi. Pembangunan Aceh, yang waktu itu kendalinya di tangan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, dilakukan kembali di atas tapak bencana.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com