RENÉ L PATTIRADJAWANE
Tuntutan akan makanan, air, dan energi bakal meningkat drastis dalam dua dekade mendatang, disebabkan meningkatnya populasi global dan perubahan pola konsumsi akibat peningkatan kelas menengah di seluruh dunia. Ini kenyataan yang dihadapi ketika jumlah penduduk dunia akan meningkat dari 7,1 miliar jiwa (2012) menjadi 8,3 miliar jiwa dua dasawarsa lagi.
Tanpa disadari, tuntutan ini juga menyebabkan memburuknya perubahan iklim yang langsung memengaruhi kebutuhan sumber-sumber pangan, air, dan energi. Perubahan iklim menyebabkan sejumlah kejanggalan cuaca serta pola cuaca yang berubah dan terus meningkat, seperti topan Bopha yang melanda Filipina.
Konferensi Perubahan Iklim PBB Pertemuan Para Pihak Ke-18 (COP-18) di Doha, Qatar, pekan lalu, ternyata tak bisa menghasilkan kesepakatan global untuk menghadapi ancaman perubahan iklim ini.
Sejumlah perjanjian diplomatik, seperti Protokol Kyoto ataupun lanjutannya, Platform Durban, tak ditanggapi secara memadai semua negara, termasuk Indonesia.
Diplomasi Indonesia, China, dan India, sebagai negara- negara berpenduduk terbanyak di dunia, tak mampu melihat perubahan iklim yang dramatis. Bumi yang tempat kita
Di tingkat ASEAN, yang penuh dengan sejumlah kesepakatan politik, ekonomi, dan perdagangan, terkesan tidak ada agenda jelas mengenai perubahan iklim ini.
Sejumlah pengalaman bencana alam di kawasan Asia Tenggara selama ini menunjukkan ketidakmampuan ASEAN untuk berperan secara aktif, dan membiarkan anggaran belanja masing-masing anggota ASEAN tersedot tidak merata menghadapi ancaman bencana dan perubahan iklimnya sendiri-sendiri.
Lebih dari satu dekade, diplomasi perubahan iklim internasional tidak mampu menghadapi persoalan yang menjadi ancaman langsung bagi rakyat kebanyakan secara memadai.
Dampak dari pengabaian persoalan perubahan iklim ini termasuk kenaikan suhu atmosfer bumi, kenaikan permukaan air laut, penipisan es di kawasan Kutub Utara, dan hilangnya habitat alami sejumlah makhluk hidup.
Para diplomat di lingkungan ASEAN, khususnya Indonesia— dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara—perlu mencari pijakan baru untuk menyelamatkan kawasan yang dinamis di tengah resesi global ini.
Keamanan pangan dan energi, yang dibutuhkan negara-negara Asia di tengah pertumbuhan ekonomi dramatis, memerlukan upaya penanganan bersama di tengah perubahan iklim global ini.
Dampak perubahan iklim ini mengancam kelangsungan pasokan makanan dan air yang dibutuhkan. Diplomasi mitigasi bencana sudah tidak bisa diabaikan dan harus menjadi tatanan penting bagi kelangsungan hidup bersama. Dunia ini bukan melulu masalah perimbangan kekuasaan saja!