Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Sekadar Hasil Kebun untuk Konsumsi

Kompas.com - 05/11/2012, 06:15 WIB

OLEH FRANS SARONG

Di kalangan masyarakat Timor, terutama di pedesaan, jagung tidak sekadar hasil kebun untuk kebutuhan konsumsi di rumah. Jagung disebut pula sebagai ”usi nahat” atau bahan makanan level ”darah biru”—bersama padi dan turis—karena diyakini memiliki roh penunggunya. Itu sebabnya proses budidaya hingga pemanfaatannya selalu dengan perlakukan khusus.

Tanaman jagung (Zea mays L) yang berbuah matang tidak bisa langsung dipanen dan dikonsumsi begitu saja. Harus didahului ritual khusus dengan sebutan berbeda-beda di sejumlah kawasan di Timor.

Masyarakat pedesaan di Kabupaten Belu menyebutnya hamis batar. Adapun masyarakat di kawasan Amfoang (Kabupaten Kupang) hingga Molo (Kabupaten Timor Tengah Selatan/TTS) menyebut hainiki pensufa. Di kawasan lain TTS, seperti Niki-niki, Boti, dan Amanuban, menyebut ritual itu dengan poepah. Meski nama berbeda, kemasan ritual bermakna sama, yakni syukuran sekaligus ”pendinginan” hasil panen, terutama jagung, sebelum bahan makanan itu dikonsumsi.

Perihal budaya berbudidaya jagung tersebut menjadi bagian kegiatan pameran di Museum NTT di Kota Kupang, 10-15 September 2012. Pameran itu merupakan rangkaian kegiatan Pekan Nasional Cinta Sejarah (Pentas) di Kota Kupang. Pentas dilaksanakan oleh Museum NTT dan UPT Arkeologi, Sejarah, dan Nilai Tradisional Disbudpar NTT bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Ditjenbud Kemdikbud Wilayah Bali-Nusa Tenggara.

”Budaya berkebun jagung menjadi bagian dari pameran kami kali ini karena tanaman atau bahan makanan itu sejak leluhur tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat NTT. Hampir seluruh prosesnya, mulai dari pembukaan kebun, penanaman benih, hingga panen selalu dengan ritual tersendiri karena jagung merupakan roh kehidupan,” jelas Kepala Museum NTT Leonard Nahak.

Khusus pameran budaya jagung, menampilkan Jusuf Boimau (70), asal Niki-niki, sekitar 130 kilometer sebelah timur Kota Kupang. Jusuf Boimau, pensiunan PNS guru sekolah dasar, adalah tetua yang dianggap mengetahui dan memiliki pemahaman secara baik terkait budaya berkebun jagung di Timor. ”Kalau di Niki-niki, Boti, Amanuban, dan sekitarnya, ritual syukuran panen jagung itu disebut poepah. Terutama di Boti dan beberapa kampung tua lainnya di TTS, ritual masih tetap dipertahankan hingga sekarang,” tutur Jusuf Boimau yang juga sebagai ”kurator” amatir.

Salib dan ”tola”

Seperti dipamerkan, setidaknya ada dua berkas batang jagung yang berbuah matang dan dinilai terbaik menjadi sesajen bagi Wujud Tertinggi dan para leluhur. Seberkas di antaranya diikatkan pada bagian tengah pohon usapi atau kesambi (Schleichera oleosa) di halaman museum. Seberkas lainnya diikatkan pada tiang kurban bercabang tiga yang disebut tola oleh masyarakat Niki-niki dan sekitarnya. Tiang kurban itu ditancapkan di atas mazbah dari susunan batu.

Menariknya, di samping tola juga ditancapkan salib, simbol kehadiran keyakinan Kristen (Katolik atau Protestan). ”Kehadiran tola dan salib sebenarnya hendak menggambarkan bahwa masyarakat kita, terutama di pedesaan, hingga sekarang menganut kepecayaan ganda. Rata rata sudah Kristen, tetapi tetap mempertahankan kepercayaan tua dengan berbagai ritual adatnya, termasuk ritual syukuran panen jagung,” jelas Leonard Nahak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com